Pekan depan 28 Agustus sampai 1 September 2023 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi bergerak sideways cenderung menguat terbatas dalam rentang 6.850-6.955.
Berikut saham yang direkomendasikan beli dan trading plan yang perlu diperhatikan menggunakan analisis teknikal untuk pekan depan menurut Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih:
- PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) di area Rp 3.220 dengan target harga pada resistance di level Rp 3.340, serta pertimbangkan cut loss apabila break support di Rp 3.150.
- PT Harum Energy Tbk (HRUM) di area Rp1.600 dengan target harga pada resistance di level Rp 1.670, serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp 1.550.
- PT Ultra Jaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) di area Rp 1.845 dengan target harga pada resistance di level Rp 1.920, serta pertimbangkan cut loss apabila break support di Rp 1.790.
IHSG saat ini erat kaitannya dengan penurunan nilai tukar. Apalagi bagi beberapa emiten di sektor yang bergantung pada impor, memiliki merek global, dan tingkat hutang yang tinggi.
Nilai tukar rupiah yang mengacu pada kurs Jisdor Bank Indonesia (BI) berada di level Rp 15.297 per dolar AS atau terdepresiasi -1,19% sejak awal Agustus 2023. Jika dibandingkan dengan penguatan tertinggi pada Mei 2023 sebesar Rp 14.632 per dolar AS, maka mata uang rupiah telah terdepresiasi -4,54%.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mata uang rupiah kembali melemah. Secara domestik, walaupun neraca dagang Indonesia masih mengalami surplus selama 39 beruntun hingga periode Juli 2023, namun surplus telah menyusut jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Turunnya surplus neraca dagang tersebut disebabkan PMI manufaktur negara maju yang masih di level kontraksi, lesunya ekonomi Cina sebagai mitra dagang terbesar non migas Indonesia dan normalisasi harga jual komoditas non migas.
Adapun neraca pembayaran pada kuartal dua 2023 mengalami defisit US$ 7,4 miliar, setelah dua kuartal sebelumnya masih tercatat surplus. Kondisi ini berpotensi menurunkan cadangan devisa sebagai penopang stabilitas nilai tukar rupiah.
Sementara itu, kondisi eksternal juga memicu melemah nilai tukar rupiah, seperti beberapa Bank Sentral di Kawasan Eropa, Inggris dan Amerika Serikat (AS) diproyeksikan masih menetapkan suku bunga tinggi hingga akhir tahun 2023.
Kondisi terbaru, pelaku pasar mencermati pernyataan ketua The Fed Jerome Powell dalam forum Jackson Hole Symposium pada Sabtu (26/8) yang masih berada hawkish dengan sinyal kenaikan suku bunga pada FOMC September mendatang.
“Nada tersebut jadi sentimen negatif untuk rupiah karena spread suku bunga BI dan The Fed berpotensi 0%,” kata Ratih dalam keterangan resmi dikutip Minggu (27/8).
Sektor yang masih bergantung pada impor, diantaranya konsumer, farmasi, dan sektor ritel seperti komponen otomotif dan elektronik. Kenaikan nilai tukar berdampak pada kenaikan beban produksi, sehingga menekan marjin.
Emiten yang memiliki merek global juga perlu diperhatikan karena pembayaran bunga sebagian besar berlandaskan pada dolar AS, di mana selisih kurs tersebut dapat menyusutkan profitabilitas emiten.
“Adapun emiten dengan leverage yang tinggi dan sensitif terhadap suku bunga, seperti di sektor konstruksi dan properti juga terkena katalis negatif,” ucap Ratih.
Di sisi lain, emiten yang diuntungkan dari pelemahan nilai tukar rupiah adalah yang berbasis pada ekspor dan mata uang fungsional dalam penyajian laporan keuangan dalam dolar AS.
Contohnya emiten di sektor komoditas dengan pangsa ekspor lebih besar, serta emiten di sektor logistik dan pelayaran. Melemahnya nilai tukar rupiah membuat hasil ekspor Indonesia lebih menarik dalam perdagangan internasional.