Bursa Karbon Indonesia akan diluncurkan pada Selasa (26/9) besok oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah mendapat izin sebagai penyelenggara oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Seiring dengan hal tersebut, RHB Sekuritas menyebut debut perdana bursa karbon Indonesia dapat menguntungkan sektor energi terbarukan dan kehutanan. Dalam risetnya, RHB menyebut jika perusahaan berbasis EBT eperti PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD), PT SLJ Global Tbk (SULI), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN) akan mendapat katalis positif.
"Kami melihat WOOD dan PGEO, yang lebih siap, memiliki keunggulan keunggulan dibandingkan pemain lain," tulis RHB Sekuritas dalam risetnya, Senin (25/9).
RHB memberi sejumlah catatan terkait penyelenggaraan bursa karbon. Pertama, perlu regulasi yang lebih komprehensif. Menurutnya, sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya dan energi memiliki potensi karbon kredit sebesar 1,3 miliar ton dan 102 juta ton per tahun. Regulasi di sektor tersebut masih dalam tahap penyusunan. Misalnya saja seperti batas atas emisi untuk setiap sektor yang belum ditetapkan.
Selain itu, proses sertifikasi karbon kredit bisa memakan waktu satu hingga dua tahun untuk diselesaikan. Sehingga, perlu beberapa waktu sebelum perdagangan karbon dapat diubah menjadi pendapatan.
"Kecepatan dan efisiensi proses persetujuan SRN PPI juga akan menentukan berapa banyak kredit karbon yang dapat diperdagangkan," tulis RHB Sekuritas.
SRN PPI merupakan sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Adaptasi Perubahan Iklim, dan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia.
Kedua, belum ada penegakan hukum untuk meningkatkan likuiditas pasar karbon, terutama penegakan atas kepatuhan terhadap batas emisi dan pajak karbon yaitu Rp 30 ribu /ton CO2e yang direncanakan berlaku di 2025.
"Kami perkirakan likuiditas bursa karbon Indonesia akan tetap rendah dan kurang menarik. Hal ini disebabkan perusahaan yang diizinkan untuk berdagang yaitu 42 perusahaan PLTU," ungkap RHB.
Ketiga, sebagian besar negara yang menerapkan mekanisme cap-and-trade mengenakan penalti pada perusahaan yang emisinya melebihi batas tersebut, dengan denda termurah yaitu US$ 37,50 untuk setiap satu ton CO2e di atas batas.
Keempat, pajak karbon atau penalti yang lebih tinggi akan meningkatkan harga kredit karbon. Sebagian besar negara menerapkan pajak karbon atau mekanisme cap-and-trade untuk mengurangi emisi dan mencapai target net zero mereka sendiri.
"Menurut kami, baik tarif pajak karbon yang tinggi maupun batasan yang ketat yang diberlakukan pada emisi akan mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi dan membeli karbon," tulisnya. Pada akhirnya nilai karbon kredit akan meningkat dan dapat mendorong pengembang proyek karbon.
Kelima, valuasi premium untuk perusahaan dengan potensi proyek karbon. Perusahaan sekuritas perkirakan belum ada perusahaan di Indonesia yang akan memperoleh karbon kredit dari pengurangan emisi gas rumah kaca dalam waktu dekat. Namun, RHB Sekuritas melihat valuasi premium dari perusahaan dengan potensi proyek karbon, mengingat potensi tambahan pendapatan dari karbon kredit yang dijual dan nilai ESG yang lebih tinggi.
Sementara itu, Equity Analyst Sinarmas Sekuritas Inav Haria Chandra mengatakan PGEO diprediksi memiliki masa depan bisnis yang cerah. Sinarmas Sekuritas menyebut saham PGEO layak dibeli karena potensi harganya bisa mencapai Rp 1.900 per lembar.
"PGEO akan mendapatkan keuntungan yang signifikan dengan perkiraan 3,4 GW (10% CAGR) tambahan kapasitas terpasang dalam satu dekade mendatang," sebut Inav dari analisanya, Senin (25/9). Hal ini seiring dengan sumber daya panas bumi Indonesia yang sangat besar dan inisiatif pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan.
Inav menjelaskan posisi PGEO sangat strategis untuk melakukan transisi energi terbarukan di Indonesia karena hubungannya dengan Pertamina dan pemerintah. "Hal ini menjadi peluang utama bagi PGEO untuk berkontribusi dalam upaya peralihan ke energi terbarukan," sebutnya.
Menurut Inav, alasan lain yang membuat saham PGEO ini layak beli sebab adanya kemitraan yang dilakukan dengan Africa Geothermal International Ltd. Selain itu, potensi penyelesaian proyek PLTP binary pertama di Indonesia pada tahun 2026-2027 juga akan menjadikan saham PGEO prospektif.
Inav juga meyakini bahwa saham PGEO selama ini masih undervalued. Dia menilai terbatasnya jumlah perusahaan sejenis yang memiliki model bisnis dan profil risiko yang serupa yang sudah melantai di bursa. "Rekomendasi beli ini cukup berdasar," sebutnya.