Ketika Guru Besar Tanya Saham BCA ke Lo Kheng Hong, Ini Jawabnya

Katadata
(kiri ke kanan) Lo Kheng Hong, Investor, Prof. Eduardus Tandelilin, Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, dan Joshua Tanja, Managing Director UBS Indonesia? dalam seminar Investor sebagai Pemenang di Tahun Politik, di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (26/10).
Penulis: Lona Olavia
31/10/2023, 13.18 WIB

Investor kawakan Lo Kheng Hong menilai saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA adalah saham wonderful company. Bagaimana tidak, saham ini dinilai sudah berhasil memperkaya para pemegang sahamnya, baik itu pemegang saham mayoritas maupun investor publik. BCA pertama kali tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 31 Mei 2000. 

Di beberapa kesempatan saat menjadi narasumber di suatu acara Pak Lo biasa ia disapa juga memang sering menjadikan BCA sebagai contoh saham wonderful company. Bahkan saat menjadi pembicara dalam Seminar Utama Capital Market Summit and Expo 2023 di main hall BEI, baru-baru ini, ia kembali menyebut saham BCA.

“OCBC dan CIMB Niaga mungkin juga bisa dipegang lama oleh saya, mungkin forever. Kalau kita lihat prestasi Bank BCA itu 23 tahun dia growing bertumbuh, semoga saya membeli yang asetnya Rp 250 triliun bisa mengulangi prestasi yang pernah dialami Bank BCA. Karena saham BCA itu wonderful company, bukan rekomendasi membeli atau menjual. Perusahaan itu sudah 23 tahun memberi capital gain kepada pemegang sahamnya yang membeli sejak IPO 26.000%,” ujarnya dikutip Selasa (31/10).

Sebagai informasi, capital gain adalah jumlah keuntungan seorang investor saat menjual kembali aset investasinya.

Mendengar itu, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Eduardus Tandelilin yang saat itu duduk di sebelahnya lantas bertanya kepada Lo Kheng Hong.

“Saya ingin mengetahui rahasianya,  tadi disebutkan pegang saham BCA. Kalau saya lihat sebentar tadi dari handphone saya, price earning ratio Bank Mandiri 10 kali, Bank BRI kira-kira 13 kali, Bank BCA sudah 23 kali. Kira-kira apa kiatnya, kok masih suka pegang BCA?,” tanyanya. 

Menjawab pertanyaan itu, Lo Kheng Hong kemudian menjawab bahwa BCA memang perusahaan yang luar biasa bagus, wonderful company. Sebagai wonderful company, saham itu memang tidak bisa dijual di harga rendah.

“Tentu tidak bisa disamakan rumah di pinggiran kota dengan rumah di SCBD. Di Sudirman tentunya akan jauh lebih mahal daripada rumah-rumah yang ada di pinggir kota begitu prof,” ucapnya.

Saham BCA menjadi salah satu saham yang dinilai sudah kemahalan oleh para pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data RTI Selasa (31/10), saham dengan kode BBCA itu ada di harga Rp 8.775 pada penutupan perdagangan sesi satu, bahkan sempat menyentuh level tertingginya di Rp 9.400 per saham.

 

Kendati demikian, saham bank swasta nasional terbesar tersebut masih diminati oleh para investor. Salah satunya oleh investor kawakan Lo Kheng Hong.

Pria yang kerap disebut sebagai Warren Buffett asal Indonesia tersebut menjelaskan bahwa BCA adalah wonderful company. Artinya perusahaan memiliki kinerja yang sangat baik. Bahkan ia mengatakan tidak mungkin jika mengharapkan perusahaan yang sudah 23 tahun melantai di BEI dan terus mencatatkan kenaikan laba untuk didapatkan dengan harga saham yang murah.

“BCA itu selama 23 tahun terus bertumbuh sudah membuat para pemegang sahamnya di Indonesia maupun mancanegara mendapatkan keuntungan. Pemegang saham BCA adalah orang yang beruntung apalagi yang long term karena mendapatkan cuan,” ujar Pak Lo.

Lebih lanjut kalau BCA tidak semahal sekarang, menurutnya ia akan memperhatikan kinerja masa lalu. Jika 23 tahun lalu kinerjanya sudah meningkat puluhan ribu persen, maka sebagai investor pasti menginginkan kinerjanya akan meningkat lagi sedemikian rupa pada masa-masa yang akan datang.

Per 30 Oktober 2023, BBCA berada di urutan pertama emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI mencapai Rp 1.080 triliun atau berkontribusi 10,25% dari Indeks Harga Saham Gabungan.