Emiten yang bergerak di bidang industri petrokimia, PT Barito Pacific Tbk (BRPT) mencatat pertumbuhan pesat dan mengungguli kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). 

Dalam risetnya, JP Morgan Sekuritas menyebut hal itu didorong oleh pergerakan portofolio utama, yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) sang anak usaha. Portofolio ini mencakup 56% dari nilai aset bersih dari sum of the parts (SOTP) dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) sebanyak 39% dari SOTP, yang masing-masing naik sekitar 83% dan 54%. 

Namun sekuritas asing tersebut melihat bahwa kenaikan harga saham emiten milik Prajogo Pangestu ini tampaknya tidak sebanding dengan perubahan substansial dalam prospek pertumbuhan TPIA dan BREN, yang juga dimiliki oleh orang terkaya Indonesia tersebut.

Dalam analisisnya, rasio EBITDA BREN dan TPIA saat ini melebihi 100 kali. Namun tampaknya tak bisa dipertahankan dalam jangka waktu 12 bulan ke depan. TPIA dan BREN merupakan dua saham entitas Grup Barito,

“Kami percaya bahwa risk reward dari portofolio utama, BREN dan TPIA, condong ke sisi negatif pada lebih 100 kali EBITDA tanpa adanya perubahan yang signifikan pada prospek pertumbuhan. Oleh karena itu kami menurunkan peringkat BRPT,” tulis riset. 

Sehubungan dengan hal tersebut, JP Morgan Sekuritas menurunkan peringkat BRPT menjadi underweight dari sebelumnya netral, dengan perkiraan target sebesar Rp 1.100 per saham. 

Meskipun demikian, JP Morgan Sekuritas percaya hal ini mengarah pada risiko atau imbal hasil yang cenderung negatif untuk BRPT. Selain itu, mengantisipasi adanya kondisi price to earning yang tidak optimal karena tekanan permintaan yang berlebihan dan kelebihan kapasitas, yang mungkin memperlambat pemulihan laba untuk TPIA. 

Sebelumnya, BREN telah mengumumkan potensi akuisisi 100% PT Sidrap Bayu Energy, salah satu pembangkit listrik tenaga angin terbesar di Indonesia dengan kapasitas 75 megawatt (MW). Langkah ini yang mewakili 8% dari total kapasitas panas bumi yang ada. 

“Namun, dampaknya hanya sekitar 2% pada nilai aset bersih BREN, dan tidak mengubah SOTP BRPT secara signifikan,” tulis riset JP Morgan Sekuritas dikutip Rabu (13/12).

Di samping itu, JP Morgan menyebut terjadi valuasi yang tinggi terjadi pada saham-saham utama dalam portofolio. Berdasarkan analisis tersebut, perbandingan TPIA antara harga saham dan laba bersih  diperkirakan akan tetap di bawah titik tengah siklus di kisaran US$ 400-420 per ton pada 2024 mendatang. 

Hal tersebut dipicu oleh peningkatan kapasitas yang signifikan dan permintaan yang masih kurang stabil. Artinya, return on invested capital akan berada pada kisaran 3%-4% dibandingkan dengan 15%-20% selama periode kenaikan siklus. Di mana price to book value 7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan regional ASEAN yang berada di bawah 1 kali nilai buku.

Sementara terkait dengan BREN, akuisisi pembangkit listrik tenaga angin Sidrap 75 MW akan memberikan tambahan pendapatan yang kurang dari 10% - 2% dari nilai aset bersih untuk BREN. JP Morgan juga memproyeksikan laju pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) untuk ekspansi kapasitas sebesar 6% pada periode 2023-2027 untuk BREN.

“Namun kami merasa bahwa profil ini tidak sejalan dengan valuasi EBITDA yang saat ini melebihi 100 kali,” tulis riset. 

Seiriing dengan hal tersebut, faktor utama dalam pergerakan BRPT adalah TPIA dan BREN. Volume transaksi harian BRPT dalam 5 hari terakhir melonjak tujuh kali lipat menjadi US$ 70 juta, dibandingkan dengan rata-rata 6 bulan sebesar US$10 juta, dengan peningkatan sekitar 66% sejak awal November.

Meskipun BRPT menunjukkan kenaikan yang signifikan, SOTP BRPT tetap sekitar 80%, baik sebelum maupun sesudah lonjakan sejak awal November. Hal ini menandakan bahwa harga saham BRPT pada dasarnya mengikuti kinerja portofolio utamanya, yaitu BREN dan TPIA. 

Pada perdagangan Rabu (13/12) pukul 14.15 WIB harga saham BRPT tengah turun 0,28% ke Rp 1.750 per saham. Sedangkan secara tahun berjalan sudah melonjak 128,76%.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila