Produsen bubble tea terkemuka di Tiongkok, termasuk Mixue Bingcheng dan Guming Holdings, berlomba mengajukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Hong Kong. Perusahaan-perusahaan di sektor yang berkembang pesat ini berekspansi secara agresif di tengah persaingan yang ketat.
Mixue Group dan Guming Holdings, jaringan bubble tea terbesar dan kedua terbesar di Cina berdasarkan jumlah toko pada 2023, telah mengajukan pendaftaran IPO tersebut pada Selasa (2/1).
Menurut sumber Reuters, Mixue, yang memiliki sekitar 36.000 gerai, menargetkan perolehan dana US$500 juta hingga US$1 miliar (sekitar Rp 7,7 triliun-Rp 15,4 triliun) dari IPO di Hong Kong. Sementara itu, Guming yang memiliki 9.000 gerai, berniat mengumpulkan US$300 juta hingga US$500 juta (Rp 3,85 triliun-Rp 7,7 triliun).
Bubble tea merupakan salah satu bisnis yang berkembang pesat di Cina. Menurut studi Asosiasi Jaringan Toko & Waralaba Cina, ada 486.000 toko bubble tea di negara ini. Asosiasi memperkirakan penjualan tahunan bubble tea pada 2023 tumbuh sebesar 40% dan nilai pasarnya mencapai sekitar 145 miliar yuan atau Rp 317,42 triliun.
Namun, dengan diferensiasi produk yang rendah, persaingan di antara para pemain sangat ketat. Raksasa industri lainnya, ChaBaiDao, juga mengajukan permohonan IPO di Hong Kong beberapa bulan yang lalu.
IPO untuk Mendukung Ekspansi yang Agresif
"Saya rasa ada desakan besar untuk IPO saat ini, karena secara umum jaringan toko bubble tea ini telah berkembang secara agresif tetapi harus rela membakar uang untuk melakukannya," kata Ben Cavender, Managing Director China Market Research Group, seperti dikutip Reuters.
Menurutnya, perusahaan bubble tea yang mampu IPO paling cepat dan mencapai posisi operasi yang stabil akan menjadi pemenang dalam jangka panjang.
Mixue telah mengajukan permohonan untuk melantai di Bursa Efek Shenzhen pada tahun 2022, dengan target mengumpulkan dana sekitar 6,5 miliar yuan (Rp 14,23 triliun). Namun, belum ada pengumuman resmi mengenai potensi pencatatan saham Mixue di bursa tersebut.
Meskipun bubble tea merupakan minuman dengan harga terjangkau yang populer di kalangan anak muda, sentimen pasar terhadap jaringan bubble tea tidak optimis. Pemulihan ekonomi pasca-Covid di Tiongkok secara keseluruhan mengecewakan. Selain itu, pengangguran usia muda mencapai 21% pada tahun lalu.
Saham Nayuki yang terdaftar di Hong Kong, satu-satunya jaringan bubble tea yang diperdagangkan secara publik di negara tersebut, telah turun sekitar 80% sejak debutnya pada tahun 2021. Pada saat Nayuki listing, kepercayaan konsumen lebih tinggi.
Produk Nayuki cenderung lebih mahal daripada beberapa pesaingnya. Menurut CIC, produk utama dari lima besar jaringan teh segar di Cina berdasarkan jumlah toko biasanya dihargai di bawah 20 yuan (sekitar Rp 43.700), dengan Mixue berfokus pada produk dengan harga sekitar 6 yuan (sekitar Rp 13.000-an).
Jason Yu, Managing Director Kantar Worldpanel di Tiongkok, mengatakan jika ada perusahaan yang memiliki posisi yang tepat untuk memanfaatkan meningkatnya permintaan bubble tea di Tiongkok dan di tempat lain, Mixue Bingcheng adalah salah satu pesaing utama.
"Mereka sangat kuat dalam pengendalian biaya, tetapi merek mereka juga sangat kuat. Logo manusia salju mereka ada di mana-mana. Mereka melakukannya dengan sangat baik dalam hal membangun bisnis dengan skala global," ucap Jason Yu.