Mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta Hasan Zein Mahmud mengkritik skema sistem lelang berkala penuh atau full call auction (FCA) di Papan Pemantauan Khusus (PPK). Menurutnya, Papan Pemantauan Khusus yang diluncurkan untuk meningkatkan likuiditas saham dan perlindungan investor itu justru mengancam investor retail karena skema yang tidak jelas.
Hasan menyebut hal itu disebabkan di dalam skema full call auction (FCA) yang ada di Papan Pemantauan Khusus tidak tersedia informasi tentang tawaran beli (bid) dan tawaran jual (ask). Oleh karena itu, investor hanya dapat mengandalkan data Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV) untuk memperkirakan harga dan volume saham yang akan dipasangkan.
“Di sini berkembang sarana spekulasi yang saya sebut BER, Bursa Efek Remang-Remang,” tulis Hasan dalam keterangannya, dikutip Kamis (6/6).
Hasan menggambarkan perubahan di pasar saham, di mana keterbukaan transaksi digantikan dengan order rahasia dan disclosure digantikan dengan kelambu. Hal itu membuat para investor harus menebak-nebak apa yang terjadi di balik kelambu. Kemudian, lanjut Hasan, continuous auction diganti dengan serial dutch auction atau yang lebih dikenal sebagai full call auction (FCA).
Ia juga menyebut mayoritas saham yang diberi notasi X oleh otoritas mengalami penurunan harga yang signifikan, bahkan beberapa mendekati harga Rp 1. Namun, tidak semua saham tersebut memiliki kinerja dan prospek yang buruk. Sebagian besar penurunan harga disebabkan oleh likuiditas yang rendah.
“Para sahabat saya, investor retail menjerit. Sakit melilit. Bukan saja karena nilai portfolio mereka melorot tajam, tapi bahkan untuk cut loss saja sering terlambat karena bid-offer yang tak kelihatan dan rentang harga yang sempit,” ujar Hasan.
Di tengah jeritan itu, lanjut Hasan, otoritas tetap bersikukuh bahwa langkah-langkah yang mereka ambil adalah untuk melindungi investor. Meskipun, tidak jelas investor mana yang mereka maksud. Menurut Hasan, otoritas telah menyerah pada fatalisme bahwa bentuk "perlindungan" terbaik adalah dengan menghentikan aktivitas pasar sepenuhnya.
Hasan menilai kebijakan tersebut tidak bijaksana dan membuka celah bagi pemegang saham pengendali untuk secara aktif merugikan investor retail. "Otoritas membuka pintu untuk diberi notasi X. Kemudian, saat harga saham merosot tajam, mereka dapat membeli kembali saham-saham tersebut yang pada awalnya telah dijual dengan harga tinggi saat initial public offering (IPO)," ujarnya.
Setelah saham-saham itu mereka kuasai, Hasan menilai pemegang saham akan melenggang keluar dari Bursa dengan mengantongi keuntungan. "Delisting plus go private,” tambahnya.
Sebelumnya, beredar petisi di Change.org, investor meminta agar peraturan papan pemantauan khusus dihapuskan. Hingga Kamis (6/6) pagi, sebanyak 15.265 orang memberikan dukungan dalam petisi ini.
Investor keberatan terhadap sistem tersebut karena dianggap membuat pasar saham menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi, mirip dengan permainan judi daripada investasi jangka panjang yang seharusnya aman. Selain itu, mereka meminta kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencabut peraturan papan Full Auction guna menjaga stabilitas pasar saham dan melindungi para investor.
“Tandatangani petisi ini jika Anda setuju bahwa Peraturan Papan Full Auction harus dihapuskan!” demikian tertulis dalam laman Change.org, dikutip Kamis (6/6).
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, terdapat dua karangan bunga di lobby Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (30/5). Karangan bunga tersebut berasal dari Dayat Subagja dan keluarga, yang tertulis “Rest in peace kebijakan Full Call Auction BEI”.
Karangan bunga lainnya dengan pengirim Devin Hutapea dan kawan-kawannya bertuliskan, “Yth. Pimpinan BEI, tolong ubah Full Call Auction, enggak kondusif buat market”.