Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG terus melaju hingga cetak rekor tertinggi sejak awal pekan ini. Analis memperkirakan IHSG bisa mencapai level 7.800--8.000 pada akhir 2024.
Adapun IHSG siang ini ditutup naik 0,67% ke level 7.517 dan kembali mencapai level tertinggi baru atau all time high (ATH) pada perdagangan sesi pertama, Selasa (20/8). Kenaikan IHSG melampaui rekor pada penutupan perdagangan Senin (19/8) kemarin di level 7.466.
Lantas, sampai kapan IHSG bisa kuat bertengger di zona hijau?
Faktor Nilai Tukar Rupiah
PT BRI Danareksa Sekuritas menyebut Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG bisa menembus level sekitar 8.000 pada akhir tahun ini. Namun, ada kondisi yang menjadi syarat peluang IHSG meningkat.
Direktur Utama BRI Danareksa Sekuritas, Laksono Widodo, menyatakan hal itu bisa terjadi jika suku bunga di Amerika Serikat (AS) turun serta stabilnya nilai tukar rupiah yang saat ini sudah kembali di bawah Rp 16 ribu per dolar. Indeks juga akan mendapatkan dorongan jika pasar merespons positif kabinet baru Prabowo-Gibran.
"Kira-kira sih prediksi akhir tahun di kepala delapan, ya,” kata Laksono kepada wartawan di Gedung BRI, Jakarta, Rabu (14/8) lalu.
Sedangkan menurut Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB Universitas Indonesia, Budi Frensidy, IHSG memiliki peluang besar untuk terus melesat di atas 7.500. Hal itu jika nilai rupiah tetap di bawah Rp 15.500 dan The Fed menurunkan suku bunga bulan depan.
“Saya pikir akan menuju 7.800 di akhir 2024,” kata Budi kepada Katadata.co.id, Selasa (20/8).
Melambatnya Ekonomi AS
Sementara Senior Investment Information dari Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengatakan IHSG akan tetap berada di zona hijau selama ekonomi Amerika Serikat melambat. Ia menyebut kini investor tengah mengantisipasi adanya kebijakan pasar ekspansif dari The Fed yang kemungkinan akan dimulai pada bulan September.
“Jadi kalau selama soft lending berlaku, nantinya aliran dana asing yang masuk akan berlanjut,” ucap Nafan kepada Katadata.co.id, Selasa (20/8).
Kemudian Nafan juga menyebut aliran dana asing tersebut terjadi karena adanya potensi terhindarnya resesi, khususnya di Amerika Serikat. Apabila The Fed mulai menerapkan kebijakan pelonggaran moneter pada bulan September, kata Nafan, pasar perlu memperhatikan hasil dari pertemuan September tersebut.
Hal itu termasuk proyeksi inflasi, kondisi ekonomi, tingkat pengangguran, dan terutama proyeksi suku bunga The Fed. Nafan menyebut hal ini penting untuk mengetahui apakah akan ada penurunan suku bunga lebih lanjut atau tidak.
“Karena sebenarnya kan hingga tahun 2026 ya, akan terjadi potensi pemotongan suku bunga The Fed,” ucapnya.
Seiring dengan melajunya IHSG, data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan nilai transaksi saham hari ini mencapai Rp 13,29 triliun dengan volume 11,85 miliar saham dan frekuensi sebanyak 676.300 kali. Sebanyak 342 saham menguat, 201 saham terkoreksi, dan 235 saham tidak bergerak. Adapun kapitalisasi pasar IHSG pada sesi I hari ini mencapai Rp 12.764 triliun.
Dari sebelas sektor saham yang ada di BEI, sepuluh sektor terpantau menguat. Saham-saham konsumer siklikal mencatat kenaikan terbesar yakni 1,38%. Saham konsumer siklikal yang berada di zona hijau yakni PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang menguat 0,66% ke level Rp 1.535 per lembar saham dan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) naik 13,92% ke Rp 360.