Indeks bursa Amerika Serikat (AS) turun pada Selasa (1/10) di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Ketegangan tersebut memicu kehati-hatian di kalangan investor Wall Street, yang tengah menikmati dampak positif kinerja ekonomi AS pada kuartal III-2024.

Dow Jones Industrial Average turun sebesar 173,18 poin atau 0,41%, berakhir di level 42.156,97. Indeks S&P 500 juga tergelincir 0,93% menjadi 5.708,75. Sedangkan Nasdaq Composite mencatatkan penurunan terbesar sebanyak 1,53%, ditutup di 17.910,36.

Harga minyak mentah West Texas Intermediate melonjak setelah pasukan pertahanan Israel melaporkan bahwa Iran meluncurkan serangan rudal. Meningkatnya ketegangan tersebut memicu kenaikan pada Indeks Volatilitas CBOE, yang sering disebut sebagai "pengukur ketakutan" di Wall Street, mencapai level 20 pada puncaknya. Hal itu mencerminkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.

 Meskipun harga minyak sempat melonjak, harga kembali mereda dan saham-saham bergerak naik dari posisi terendahnya setelah serangan Iran. Para trader juga berharap dampak serangan serta respons dari Israel akan terkendali dan tidak memperburuk situasi.

 Manajer Portofolio Senior di Globalt Investments, Keith Buchanan, mengatakan bahwa kekhawatiran menyebarnya dampak tersebut sering kali mengguncang kestabilan pasar.

 “Selain dampak terbesar pada kehidupan manusia, pasar juga terdampak langsung ketika ada kekuatan besar yang menyebabkan ketidakstabilan,” kata Buchanan dikutip CNBC, Rabu (2/10). 

Lebih dari 60% saham di S&P 500 turun selama sesi tersebut. Penurunan itu telah menunjukkan masalah yang meluas di pasar. Namun, sektor energi mencatat kenaikan signifikan setelah laporan ketegangan di Timur Tengah, dengan saham-saham energi di S&P 500 naik lebih dari 2%.

Saham-saham teknologi mengalami penurunan terbesar hingga menyebabkan Nasdaq rugi paling banyak. Saham Tesla, Nvidia, dan Apple kompak ditutup lebih rendah. Namun, Meta Platforms, induk dari Facebook, berhasil melawan tren negatif ini dengan mencatat rekor harga tertinggi perdagangan harian sepanjang masa.

Saham-saham perusahaan kecil juga terpukul, termasuk Russell 2000 turun 1,5%. Selain itu, para pedagang memantau pemogokan oleh Asosiasi Buruh Pelabuhan Internasional di pantai Timur dan Teluk AS. Meskipun dampaknya belum terasa langsung oleh konsumen, penghentian ini diperkirakan bisa merugikan ekonomi AS hingga ratusan juta dolar.

 Kemudian terkoreksinya pasar AS pada Selasa kemarin terjadi setelah S&P 500 dan Dow mencatat rekor penutupan sehari sebelumnya, sekaligus menandai akhir bulan dan kuartal perdagangan. Meskipun September biasanya merupakan bulan terburuk untuk saham, kali ini tren tersebut berhasil dipatahkan. Ketiga indeks utama mencatatkan kenaikan bulanan dengan S&P 500 membukukan kinerja positif pada September dan itu kali pertamanya sejak 2019.

Saham-saham juga tetap menguat pada Senin (30/9), meskipun Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, menyatakan bank sentral belum menentukan arah kebijakan suku bunga selanjutnya. Powell mengisyaratkan dua kali penurunan suku bunga lebih lanjut tahun ini, masing-masing sebesar 0,25%, tergantung pada kinerja ekonomi.

 Selanjutnya, para investor akan memperhatikan laporan nonfarm payrolls bulan September yang akan dirilis pada hari Jumat. Rilisnya laporan tersebut bisa menjadi katalis bagi pergerakan indeks utama.



Reporter: Nur Hana Putri Nabila