Bursa saham Amerika Wall Street anjlok pada perdagangan Kamis (13/3) setelah sempat bangkit. Hal ini terjadi setelah Presiden Donald Trump menyampaikan rencananya mengenakan tarif dagang 200% untuk produk beralkohol asal Uni Eropa.
Kebijakan itu sebagai respons atas langkah Uni Eropa mengenakan tarif 50% untuk wiski. Trump juga menyampaikan penerapan tarif tambahan yang lebih luas tetap diberlakukan pada 2 April.
Pernyataan baru Trump melalui media sosial Truth Social itu kembali memicu kekhawatiran investor akan dampak perang dagang, sehingga menekan Wall Street.
S&P 500 melemah 1,39% ke level 5.521,52, Dow Jones Industrial Average jatuh 537,36 poin atau 1,3% ke 40.813,57 atau penurunan empat hari beruntun, Nasdaq Composite melorot 1,96%.
Ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika mengguncang pasar sepanjang Maret. S&P 500 dan Nasdaq turun masing-masing 4,3% dan 4,9% selama sepekan. Dow Jones juga merosot 4,7%, mencatatkan kinerja mingguan terburuk sejak Juni 2022.
Nasdaq yang sebelumnya sudah berada di zona koreksi, kini merosot lebih dari 14% dari rekor tertinggi. Sementara itu, indeks saham berkapitalisasi kecil Russell 2000 mendekati wilayah bearish, melemah sekitar 19% dari level puncak.
Di pasar saham, koreksi didefinisikan sebagai penurunan lebih dari 10%. Bear market terjadi jika penurunan mencapai 20%.
"Ketegangan perdagangan ini semakin meningkat sebelum akhirnya mereda. Hal ini hanya memperburuk ketidakpastian, dan itu negatif untuk saham, jelas," ujar Manajer Portofolio di Argent Capital Management Jed Ellerbroek, dikutip CNBC Internasional, Kamis (14/3).
Menteri Keuangan Scott Bessent menegaskan pemerintahan Trump lebih berfokus pada kesehatan ekonomi dan pasar dalam jangka panjang, ketimbang fluktuasi jangka pendek. “Saya tidak khawatir dengan volatilitas yang terjadi selama tiga minggu,” ujar dia dalam acara Squawk on the Street di CNBC.
Meskipun terdapat beberapa sinyal positif terkait inflasi, pasar saham tetap tertekan. Indeks harga produsen atau PPI Februari, yang mencerminkan biaya produksi barang konsumen dan menjadi indikator tekanan inflasi, tercatat stagnan. Ini sejalan dengan data indeks harga konsumen alias CPI Februari yang juga lebih lemah dari ekspektasi.
Meski sejumlah analis pasar memperkirakan adanya rebound teknikal setelah aksi jual baru-baru ini, banyak yang menilai data inflasi terbaru belum cukup kuat untuk mendorong kenaikan yang signifikan. Kekhawatiran terhadap kebijakan perdagangan Trump masih membebani sentimen investor, sementara ketidakpastian mengenai langkah bank sentral AS The Fed tetap menjadi perhatian utama.