Bos KSEI Buka Suara soal Rencana MSCI Gunakan Data Free Float
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) buka suara ihwal rencana indeks global Morgan Stanley Capital International (MSCI) yang akan menggunakan data KSEI dalam penghitungan free float saham emiten Indonesia pada review Mei 2026
Free float adalah porsi saham yang dimiliki oleh publik atau masyarakat, tidak termasuk saham yang dikuasai oleh pemegang saham pengendali, pemegang saham mayoritas, komisaris, direksi maupun karyawan perusahaan.
Direktur Utama KSEI Samsul Hidayat menegaskan kewenangan penghitungan free float saham tetap berada pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan demikian, Samsul menegaskan, KSEI tidak memiliki peran langsung dalam penghitungan free float saham.
“Jadi nantinya KSEI mendukung jika ada keperluan dari BEI terkait data-data untuk mereka untuk Bursa melakukan kalkulasi free float-nya di pasar modal Indonesia,” kata Samsul di Jakarta, Selasa (23/12).
MSCI tengah membuka periode konsultasi hingga 31 Desember 2025 dan hasilnya dijadwalkan diumumkan sebelum 30 Januari 2026. Apabila langkah ini disetujui, perubahan metodologi tersebut akan mulai diterapkan pada review indeks Mei 2026 mendatang.
BEI Temui Pimpinan MSCI
Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelumnya bertemu dengan pimpinan Morgan Stanley Capital International atau MSCI untuk membahas metodologi perhitungan free float.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyampaikan, diskusi yang dilakukan berlangsung cukup konstruktif dan tetap menghormati independensi penyedia indeks bergengsi itu. Ia menjelaskan, setidaknya BEI telah memanfaatkan waktu yang ada untuk menyampaikan berbagai perhatian dan masukan terkait free float.
“Jadi minggu lalu Pak Iman Rachman (Direktur Utama BEI) ke New York ketemu dengan MSCI, pimpinan MSCI,” kata Jeffrey kepada wartawan di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (18/12).
Selain itu Jeffrey juga mengatakan, otoritas BEI telah mengirimkan surat resmi kepada MSCI untuk menyampaikan sejumlah perhatian. Selain itu, ia juga mencatat berbagai pelaku pasar dan asosiasi turut menyampaikan concern serupa.
BEI meminta agar metodologi apa pun yang diterapkan oleh index provider bersifat universal dan non-diskriminatif, serta berlaku secara konsisten di seluruh negara, bukan hanya kepada negara tertentu. Meski begitu, BEI tetap menghormati kewenangan dan independensi penyedia indeks.
“Nah, misalnya kemudahan untuk melihat data dan lain-lain, apa yang bisa kami provide tentu akan kami usahakan untuk kita berikan untuk meningkatkan transparansi dan lain-lain,” kata Jeffrey.
Terkait isu free float, Jeffrey menjelaskan Indonesia telah menerapkan kriteria yang lebih ketat dibandingkan beberapa bursa lain. Di Indonesia, kepemilikan oleh satu pihak di atas 5% tidak lagi diperhitungkan sebagai free float, sedangkan di sejumlah bursa lain, kepemilikan di atas 10% masih dapat dikategorikan sebagai free float.
“Tetapi, kami juga menawarkan apa yang bisa kami sampaikan, data yang bisa kami berikan, supaya MSCI lebih percaya dengan data yang ada di Indonesia,” kata dia.
Jeffrey menyatakan tidak pernah ada respons secara langsung dari MSCI. Ia mencontohkan, saat MSCI berencana mengecualikan saham yang masuk dalam kategori FCA selama satu tahun dari indeksnya, BEI telah menyampaikan concern yang sama. Namun meski tidak ada tanggapan resmi, kebijakan tersebut kemudian direvisi, di mana pengecualian hanya berlaku bagi saham yang masuk FCA selama tiga bulan, bukan lagi satu tahun.
“Ekspektasi kami, dua hal tadi itu apapun metodologi yang akan diterapkan itu berlaku universal dan tidak diskriminatif. Itu saja ekspektasi kami,” kata Jeffrey.