Bank Mandiri Jabarkan Skema Restrukturisasi Utang Krakatau Steel

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo. Bank Mandiri mendukung Krakatau Steel sebagai bagian dari industri strategis nasional.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
15/4/2019, 20.04 WIB

Bank Mandiri telah menyetujui pengajuan restrukturisasi utang Krakatau Steel melalui beberapa skema penyelesaian. Bank Mandiri merupakan kreditor terbesar Krakatau Steel dengan nilai kredit jangka pendek sebesar Rp 830 miliar dan US$ 225,6 juta atau setara Rp 3,17 triliun (kurs: Rp 14.000 per dolar AS).

Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, prospek industri strategis nasional masih bagus dengan memperhatikan pertumbuhan permintaan dari sektor infrastruktur dan konstruksi. "Pada intinya, kami mendukung (restrukturisasi utang), karena Krakatau Steel merupakan industri strategis nasional," kata Tiko, sapaan akrab Kartika, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (15/4).

Tiko menjelaskan beberapa skema restrukturisasi utang yang akan ditempuh Krakatau Steel. Ada skema yang lancar dan ada skema yang ditutupi dengan beberapa pengurangan aset, serta menggunakan skema obligasi konversi (convertible bond).

(Baca: Finalisasi Due Diligence Akusisi Bank Permata, Saham Bank Mandiri Naik)

Tidak hanya itu, Tiko mengatakan Indonesia Asahan Aluminium (Persero) alias Inalum bakal berperan besar dalam mendorong kinerja Krakatau Steel ke depannya. Pasalnya, Krakatau Steel bakal menjadi anak usaha Inalum, di mana Inalum merupakan induk usaha (holding) BUMN Tambang.

"Peranan Inalum nanti, sebagai calon holding dari Krakatau Steel, dapat membantu juga supaya Krakatau Steel lebih kompetitif dan efisien dalam beroperasi ke depan," kata Tiko.

Tahun lalu, dalam laporan keuangan perusahaan, Krakatau Steel tercatat masih memiliki liabilitas dengan total mencapai US$ 2,49 miliar atau setara dengan Rp 35,1 triliun, naik dari 2017 yang senilai US$ 2,26 miliar. Naiknya liabilitas Krakatau Steel tahun lalu karena meningkatnya liabilitas jangka pendek mereka.

Seperti diketahui, 2018 lalu liabilitas jangka pendek Krakatau Steel tercatat senilai US$ 1,59 miliar, naik dari 2017 yang sebesar US$ 1,36 miliar. Sementara, liabilitas jangka panjang mereka totalnya US$ 899,4 juta pada 2018, turun dari 2017 yang senilai US$ 899,6 juta.

(Baca: Penjualan Naik, Krakatau Steel Tekan Kerugian jadi Rp 1 Triliun)

Krakatau Steel juga mencatatkan kinerja yang membaik dengan penurunan rugi bersih sebesar 8,48% pada 2018 menjadi US$ 74,82 juta atau sekitar Rp 1,05 triliun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 81,74 juta (Rp 1,15 trilun). Penurunan itu antara lain dipicu oleh meningkatnya volume penjualan dan harga jual.

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, sepanjang 2018 perusahaan mencatat kenaikan pendapatan bersih sebesar 20% menjadi US$ 1,73 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, perseroan juga membukukan peningkatan volume penjualan 12,84% menjadi 2,14 juta ton baja dibanding tahun sebelumnya 1,9 juta ton.

Di sisi lain, kinerja perseroan sepanjang 2018 juga ikut terbantu oleh kenaikan harga jual produk baja. "Ini adalah salah satu ciri, bahwa pasar baja domestik membaik,” ujar Silmy melalui siaran resmi, Senin (1/4).

Menurut data perusahaan, rata-rata harga jual produk baja jenis hot roll coil (HRC) pada 2018 berhasil meningkat 10,03% menjadi US$ 657 per ton diikuti jenis cold roll coil (CRC) naik 6,72% menjadi US$ 717 per ton, dan wire rod meningkat 15,03% menjadi US$ 635 per ton.

Silmy menyebut, selain mempengauhi perusahaan induk, sejumlah perusahaan asosiasi dan joint venture Krakatau Steel  juga mengalami perbaikan kinerja dengan menyusutnya rugi bersih menjadi sekitar US$ 5,31 juta pada tahun lalu, dibandingkan 2017 sebesar US$ 41,24 juta.

(Baca: Krakatau Steel Percepat Pembangunan Klaster Baja Cilegon)

Reporter: Ihya Ulum Aldin