Kenaikan Rasio Intermediasi Diharapkan Tekan Perang Suku Bunga Bank

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Ekarina
24/3/2019, 11.00 WIB

Bank Indonesia (BI) baru saja menerapkan kebijakan baru terkait Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). BI menaikan tingkat RIM dari 80%-92% menjadi 84%-94% untuk menggenjot pertumbuhan kredit industri perbankan.

Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, kebijakan ini merupakan relaksasi bagi bank-bank untuk semua golongan baik Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1 sampai 4 agar lebih agresif menggenjot kredit, sambil tetap berhati-hati. Dengan kebijakan ini pula, perbankan diharapkan tidak perlu lagi perang suku bunga simpanan tinggi untuk mendapat Dana Pihak Ketiga (DPK).

"BI memberikan kelonggaran bagi bank-bank yang butuh likuiditas untuk pinjam sementara waktu ke BI melalui jalur term repo Surat Berharga Negara (SBN) atau melalui lending facility yang bunganya tidak berubah," kata Ryan kepada Katadata.co.id, Junat (23/3).

Dengan kebijakan ini, dia menilai bank yang memiliki tingkat likuiditas ketat dengan level RIM berada di atas 92%, masih memiliki ruang untuk penyaluran kredit. "Karena kalau likuiditas tidak dilonggarkan, bank-bank tentu sulit ekspansi, lebih-lebih yang LDR-nya (Loan to Deposit Ratio) sudah di atas 90%," katanya.

(Baca: Demi Memacu Kredit, BI Naikkan Batas Rasio Intermediasi Hingga 94%)

Senada dengan Ryan, Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono juga merespons positif  langkah BI menaikan RIM guna membantu industri perbankan meningkatkan penyaluran kredit. "Supaya bank-bank tetap meningkatkan pemberian kredit sesuai target industri 12%, mengingat likuiditas yang tidak melimpah," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (22/3).

Bank Mayapada menurutnya, masih memiliki tingkat likuiditas yang  cukup longgar, dengan  rasio RIM atau Loan to Deposit Ratio (LDR) bank per Februari 2019 berkisar di level 85% hingga 86%. Rasio tersebut turun dari posisi Desember yang sebesar 90%. Hal ini, menandakan, penyaluran kredit Bank Mayapada melambat.

Namun demikian, Hariyono mengatakan, pihaknya hanya menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar satu digit. Sementara, BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan pertumbuhan kredit industri perbankan tahun ini sebesar 10%-12%. 

Hariyono beralasan, dalam mengelola bank, perusahaan tidak harus meningkatkan aset setiap tahunnya. Di samping itu, tahun 2020 mendatang, bakal diterapkan perhitungan International Financial Reporting Standard 9 (IFRS 9). "Kami juga harus lebih berhati-hati dalam menghitung kebutuhan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai)," katanya.

Perhitungan CKPN baru tahun depan tersebut akan mengubah perhitungan dari yang semula dibentuk saat debitur sudah terjadi gagal/telat bayar, menjadi dibentuk sejak awal kredit diberikan dan instrumen surat berharga dibeli.

Sementara, Direktur Utama Bank Victoria Ahmad Fajar juga mengatakan, pihaknya tidak ada masalah mengenai kebijakan baru BI tersebut. Ini karena rasio RIM Bank Victoria menurutnya masih di bawah 80%. Sehingga pihaknya berkomitmen untuk  naikkan rasio tersebut dengan penyaluran kredit yang lebih agresif. "Likuditas masih longgar, sebagian masih ada di surat-surat berharga," katanya.

Tahun ini, Victoria menargetkan kredit tumbuh 14 %, sejalan dengan target OJK, yang mana kredit industri perbankan tumbuh 13 % plus-minus 1 %. Sementara DPK ditargetkan meningkat 10 %.

(Baca: BI Tahan Suku Bunga di 6%)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, dengan naiknya batas atas dari 92% ke level 94%, bank-bank yang RIM-nya sudah mendekati 92% tapi masih memiliki likuiditas berlebih punya ruang untuk menyalurkan kredit lagi. Sementara batas bawah naik dari 80% menjadi 84% agar perbankan yang RIM-nya masih di bawah batas minimum semakin menggenjot penyaluran kreditnya.

"Karena kalau di bawah 84%, bank harus memilih apakah harus membayar kenaikan untuk giro wajib minimum (GWM) atau meningkatkan penyaluran kredit," kata Perry di Komplek BI, Jakarta, Kamis (21/3).

Reporter: Ihya Ulum Aldin