Perilaku Milenial Ditengarai Sumbang Perlambatan Dana Simpanan Bank

Ilustrasi dana pihak ketiga perbankan.
Penulis: Rizky Alika
22/11/2018, 17.11 WIB

Perilaku generasi milenial yang lebih senang menempatkan dananya pada instrumen investasi di luar deposito turut berkontribusi terhadap perlambatan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan. Penerbitan surat utang pemerintah juga menjadi faktor lain yang memengaruhi pergerakan DPK.

Berdasarkan data LPS, pertumbuhan DPK bank konvensional untuk Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1 per September 2018 hanya sebesar 1,33% secara tahunan (year on year). Angka ini menunjukkan perlambatan dibandingkan periode September 2017 sebesar 16,06%. Pada BUKU 2, pertumbuhan DPK pada September 2018 sebesar 2,69% atau menurun dibandingkan pertumbuhan September 2017 sebesar 14,18%.

Sementara bank konvensional BUKU 3, pertumbuhan DPK hingga September 2018 sebesar 3,12% atau melambat dibandingkan pertumbuhan tahun lalu pada periode yang sama tahun lalu sebesar 8,87%. Pada BUKU 4, pertumbuhan DPK September 2018 hanya 9,92% atau melambat dibandingkan periode September 2017 sebesar 12,46%. Di sisi lain, pertumbuhan DPK pada bank konvensional dan syariah pada September 2018 sebesar 6,60% atau lebih lambat daripada pertumbuhan DPK September 2017 sebesar 11,69%.

Kepala Divisi Analisis Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Ahmad Subhan Irani mengatakan, generasi milenial menilai imbal hasil yang menguntungkan bukan berasal dari bunga deposito. "Jadi mereka punya perilaku investasi bukan di bank karena mereka mencari return bukan dari deposito," kata Ahmad di Seminar Nasional The Consumer Banking Forum, di Jakarta, Kamis (22/11).

(Baca: LPS: Pertumbuhan Simpanan di Bank Tahun Ini Melambat)

Selain itu, ia menilai masyarakatIndonesia lebih senang menempatkan asetnya di instrumen non keuangan. Berdasarkan hasil survei dari Credit Suisse, kepemilikan aset non finansial di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain. Proporsi aset non finansial terhadap total aset di Indonesia mencapai 94,6% atau jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam sebesar 73%, Malaysia 74%, dan Singapura 52%.

Jika dilihat dari nominalnya, perlambatan DPK secara drastis terjadi pada korporasi atau ritel (wholesale) yang di atas Rp 5 miliar. Sementara, pertumbuhan DPK di bawah Rp 500 juta masih relatif konstan selama 2017 hingga 2018.

Selain itu, Ahmad menduga ada faktor lain yang menyebabkan DPK melambat, yaitu penerbitan surat utang oleh pemerintah. Ia mengatakan, pemerintah mulai agresif dalam membiayai infrastruktur melaui surat utang. "Apalagi suku bunga deposito rendah, tidak cukup menarik bagi perusahaan, seperti asuransi dan dana pensiun," ujarnya.

Perubahan kebijakan pemerintah juga dinilai turut memengaruhi geliat DPK. Ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan perusahaan asuransi dan dana pensiun untuk menempatkan 30% dana investasinya pada Surat Berharga Negara (SBN) turut berdampak pada lesunya DPK.

(Baca: Ancaman Kekeringan Likuiditas Mengintai Perbankan)