Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2017 hanya mencapai 4,93%, lebih rendah di bandingkan kuartal sebelumnya dan kuartal III tahun lalu. Pendapat kalangan pengusaha terbelah menyikapi penurunan konsumsi ini.
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan hasil rilis BPS yang menyatakan konsumsi rumah tangga mengalami penurunan perlu disikapi oleh pemerintah. Hariyadi meminta pemerintah melakukan kajian dan penelitian yang mendalam apakah penurunan konsumsi ini terkait dengan penurunan daya beli masyarakat atau tidak.
"Pemerintah paling tidak suka dibilang daya beli turun. Lebih baik cek saja, adakan satu research, sehingga akan didapatkan faktanya apa," ujar Hariyadi saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (6/11).
Secara umum dia melihat adanya perpindahan belanja masyarakat ke e-commerce atau hiburan memang berpengaruh, khususnya terhadap industri ritel. Tetapi kontribusinya masih cukup kecil. Penjualan e-commerce baru menyumbang tidak sampai 2 persen dari total penjualan retail.
"Tapi kalau konsumsi turun bisa disimpulkan sendiri, kan pasti memang ada masalah daya beli," ujar Hariyadi. (Baca: Nielsen: Penjualan Turun Akibat Daya Beli Lemah, Bukan Tren Online)
Dia pun meminta pemerintah menjaga situasi yang kondusif agar industri bisa berkembang. Namun, dia optimistis laju pertumbuhan industri akan mulai bergerak cepat di semester I-2018. Hal ini akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi nasional karena konsumsi yang juga akan membaik, walaupun memasuki tahun politik.
Pemerintah perlu mengelola situasi politik ini dengan baik agar tidak bertebaran isu-isu palsu (hoax) yang dapat meruntuhkan persepsi masyarakat dan juga pengusaha. Sedangkan, Hariyadi mengungkapkan pemerintah akan sulit mencapai target pertumbuhannya, sehingga, Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi 2017 hanya akan di bawah 5,1 persen atau paling tinggi 5,1 persen.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang tidak yakin adanya penurunan daya beli walaupun konsumsi rumah tangga mengalami penurunan. Menurutnya, industri manufaktur terus mengalami pertumbuhan sesuai data Kementerian Perindustrian yakni 5,51% untuk skala menengah dan besar, serta untuk skala mikro dan kecil sebesar 5,34 persen.
"Saya tidak percaya yang selalu dibicarakan kalau pasar itu lesu. Kan bisa lihat industri tumbuh, investasi tumbuh, kok pasar turun," ujarnya.
Isu yang berkembang saat ini ada beberapa pertumbuhan segmen industri yang tidak sesuai dengan ekspektasi, tetapi tetap bertumbuh. Daya beli di desa pun seharusnya juga tidak mengalami penurunan, karena dana pemerintah yang ditransfer ke desa cukup besar. Kontribusi transaksi di e-commerce terhadap industri retail masih kecil.
"Jadi, saya tidak begitu melihat hal itu (penurunan daya beli). Buktikan dulu deh, saya tidak merasa itu terasa," ujarnya.
Menyikapi penutupan toko retail, kata Franky, terjadi karena mall dan pusat perbelanjaan. Sehingga, pengusaha memilih untuk melakukan ekspansi ke luar Pulau Jawa yang pasarnya masih sangat besar. Toko retail yang di luar Jakarta tidak mengalami penutupan. Hal tersebut membuktikan daya beli sebetulnya tidak mengalami pelemahan.
Kondisi sepinya pusat perbelanjaan ini karena tidak memiliki bisnis proses yang jelas. Banyak mall yang tidak menentukan segmen pasarnya. "Kalau dia (mall) upper (kelas atas) ya upper saja, jangan dicampur, jadi tidak jelas begitu loh," ujarnya. (Baca: Debenhams Pergi, Pengelola Ubah Konsep Senayan City)