Bank Indonesia (BI) bakal mengizinkan perbankan mengenakan biaya (fee) untuk isi ulang (top up) uang elektronik alias e-money. Saat ini, skema pengenaan biayanya tengah digodok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik rencana kebijakan tersebut lantaran dianggap sebagai disinsentif terhadap gerakan nasional transaksi keuangan non-tunai.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi berpendapat, gerakan nasional non-tunai (cashless) merupakan kebijakan yang baik dan perlu didukung masyarakat. Ia pun menilai positif rencana pemerintah yang akan mewajibkan pembayaran tol dengan e-money untuk mempermudah dan mempercepat layanan. Namun, ia berpendapat pengenaan biaya isi ulang e-money tidak tepat.

"Harusnya gerakan cashless itu diberikan insentif bukan disinsentif seperti ini," kata Tulus saat dihubungi Katadata, Jumat (15/9). Menurut dia, kebijakan tersebut akan membuat masyarakat malas untuk menggunakan e-money. (Baca juga: BI Pastikan Isi Ulang Uang Elektronik Dikenakan Biaya)

Ia mengakui, kebijakan tersebut tidak akan membebani sebagian masyarakat karena jumlah potongannya disebut-sebut tidak akan besar. Namun, bisa membebani sebagian masyarakat lainnya. Maka itu, Tulus mengimbau agar kebijakan tersebut dibatalkan saja. (Baca juga: BI dan BPJT Beri Diskon Pembayaran Tol Non Tunai Hingga 50%

"Jadi yang penting itu tidak ada potongan. Juga untuk kasus Go-jek dalam mengisi Go-pay," kata dia. Sebelumnya, manajemen Gojek Indonesia mengirimkan pemberitahuan bahwa konsumen akan dikenakan biaya Rp 2.500 untuk isi ulang melalui Bank Mandiri. Namun, rencana tersebut sudah dibatalkan. (Baca juga: Go-Jek Batalkan Biaya Isi Ulang Go-Pay Melalui Bank Mandiri)

Di sisi lain, Direktur Pengembangan Bisnis BCA Santoso Liem mengatakan, wacana pengenaan biaya untuk isi ulang e-money sudah dibicarakan oleh perbankan dan regulator. Ia pun mengaku mendukung kebijakan tersebut karena beberapa alasan.

Pertama, biaya isi ulang tidak sebanding dengan investasi dan pemeliharaan alat pembaca (reader) e-money di gerbang tol dan tempat lainnya. Kedua, perbankan juga memberikan insentif kepada toko-toko yang menjadi mitra pengisian e-money.

Ketiga, perbankan memerlukan biaya untuk pemeliharaan bulanan infrastruktur sistem pembayaran di antaranya Anjungan Tunai Mandiri (ATM). "Jadi top up fee adalah untuk membantu agar sistem pembayaran ini bisa sustainable (berkelanjutan) untuk memberikan layanan kepada masyarakat," ujar Santoso.

Ia pun memastikan, biaya isi ulang tidak akan memberatkan masyarakat karena sifatnya yang tetap (fixed). Selain itu, biayanya juga diklaim tidak akan lebih mahal dari uang parkir yang biasa dikeluarkan masyarakat.

Menurut dia, biaya hanya dikenakan sekali setiap melakukan isi ulang. Artinya, masyarakat mengisi uang elektroniknya sebesar Rp 10 ribu atau Rp 1 juta akan dikenakan biaya yang sama. Alhasil, lebih efisien bila masyarakat melakukan isi ulang dengan nominal yang besar.

Ia pun menekankan, gerakan transaksi keuangan non-tunai merupakan gerakan yang menguntungkan seluruh pihak. Maka itu, masyarakat, bank, dan pemerintah diharapkan bisa bersama-sama memikul dan mengambil kensekuensi yang ada.

"Kami harus mengedukasi bahwa sistem pembayaran ini butuh effort semua pihak termasuk nasabah. Karena dengan adanya uang elektronik memberikan kemudahan dan kecepatan pelayanan," ujar Santoso.

Adapun dana masyarakat yang masuk ke e-money bukanlah sumber Dana Pihak Ketiga (DPK) yang bisa memperkuat pendanaan bank. Namun, dana tersebut merupakan bagian dari arus (cash flow) likuiditas untuk menopang operasional, khususnya yang terkait dengan pembayaran melalui e-money.

Perkembangan Uang Elektronik

Uang ElektronikTahun 2015Tahun 2016Juli 2017
Jumlah Kartu34,3 juta kartu51,2 juta kartu69,4 juta kartu
Volume Transaksi535,6 juta kali683,1 juta kali416,9 juta kali (Januari-Juli)
Nominal TransaksiRp 5,3 TriliunRp 7 triliunRp 5,2 triliun (Januari-Juli)

 Sumber: Data Uang Elektronik BI (Diolah)