Kredit Masih Lemah, BI Akan Izinkan Bank Beli Obligasi Korporasi

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yuliawati
24/8/2017, 16.47 WIB

Bank Indonesia (BI) berencana merilis aturan Financing to Finance Ratio (FFR) tahun ini. Aturan ini merupakan langkah lanjutan pelonggaran kebijakan moneter bank sentral setelah menurunkan suku bunga acuan (BI 7Days Repo Rate) sebesar 0,25%.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, FFR akan sedikit berbeda dengan rasio kredit terhadap pendanaan (Loan to Financing Ratio/LFR). Apabila LFR hanya memasukan kredit sebagai penyebut (pembagi) dana pihak ketiga (DPK) dan surat berharga, maka FFR menyertakan juga obligasi korporasi.

Alhasil, bank bisa menjadikan obligasi korporasi sebagai aset, tidak lagi hanya sebagai kredit. "Sekarang dengan FFR kami juga akan dorong (bank) tidak hanya berikan kredit bank tetapi juga bisa membeli obligasi koporasi. Selama ini mereka lebih banyak beli obligasi pemerintah," kata Perry di Jakarta, Kamis (24/8).

(Baca: Bunga Acuan Turun, Bankir Tak Bisa Segera Pangkas Bunga Kredit)

Dengan demikian, perhitungan FFR terdiri atas kredit dan pembelian obligasi korporasi dibagi pendanaan berupa DPK atau obligasi yang diterbitkannya sendiri. Harapannya, dengan kebijakan ini maka pembiayaan oleh bank ke perekonomian secara umum bisa ditingkatkan.

Perry mengatakan, alasan BI menyusun bauran kebijakan ini karena permintaan kredit belum meningkat. Sementara BI melihat pembiayaan oleh industri melalui penerbitan surat utang justru meningkat. Maka dari itu, BI berencana menerbitkan kebijakan FFR tahun ini.

"Kalau kredit bank harus menunggu permintaan, kemudian bank masih mungkin risiko kreditnya harus di-asses dan sebagainya," ujar dia.

Meski ingin mendorong pembiayaan, BI juga hendak meyakinkan diterapkannya prinsip kehati-hatian. Oleh sebab itu, obligasi korporasi yang bisa dibeli oleh bank harus dengan ketentuan tertentu, salah satunya peringkat oleh lembaga pemeringkat. "Kami akan wajibkan hanya untuk rating dengan minimum tertentu. Ini yang masih kami studi ratingnya seperti apa?" tutur dia.

(Baca juga: Kredit Lemah, Bank Didorong Keluarkan Dana Rp 500 T dari Bank Sentral)

Mengacu data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah penerbitan obligasi korporasi sepanjang 2016 mencapai Rp 112,43 triliun. Pencapaian tersebut merupakan jumlah tertinggi selama ini. Sedangkan sepanjang semester I-2017, penerbitan obligasi korporasi mencapai Rp 57,87 triliun. Dengan kebijakan FFR ini, Perry berharap pembiayaan oleh bank bisa meningkat.

"Nah, kami perkirakan (FFR) akan meningkatkan pembiayaan kepada ekonomi," kata dia.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memandang, penurunan suku bunga acuan menjadi 4,5% saja tak cukup untuk mendorong bank menyalurkan kredit. Alasan utamanya karena bank masih melakukan konsolidasi. Persis dengan yang disampaikan oleh BI.

(Baca juga: BI Godok Aturan Uang Muka Rumah dan Kendaraan Sesuai Wilayah)

Selama ini, kata dia, alasan bank tebang pilih dalam menyalurkan kredit karena faktor risiko yang masih tinggi. Itu terlihat dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang masih sebesar 3% secara gross dan 1,4% netto.

"Diantaranya itu (risiko kredit). Makanya tahap pertama bunga dana (perbankan) dulu yang turun, baru kemudian ada lending rate turun. Ada lagging, sembari bank itu restrukturisasi kredit," kata dia kepada Katadata. Restruktukturisasi kredit itu, lanjut dia, bisa dengan menjual aset tersebut atau dengan memperbaiki kualitas kreditnya.

Ia pun mendukung rencana BI menerbitkan aturan FFR. Dengan demikian, rasio LFR akan naik. Hal ini akan membantu bank-bank yang rasio LFR di bawah batas atau 78%, sehingga tidak dikenai pinalti oleh BI.

"Tapi ya bank kan harus perhatikan kinerja perusahaan atau korporasi secara langsung juga. Yang pasti bank yang rasio LFR nya sudah tinggi buat apa lagi dia ikutan?" kata dia.