Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bakal menerbitkan empat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk kepentingan perpajakan. Keempat PMK harus segera terbit bila Indonesia mau mengikuti kerja sama internasional: pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak pada 2018.

Berdasarkan kesepakatan dalam Global Forum di Georgia, pada November 2016, legislasi primer dan sekunder terkait AEoI harus terbit paling lambat 30 Juni 2017. "Bila sampai batas itu belum memiliki kerangka hukum tersebut maka negara atau yurisdiksi itu masuk kategori failed to comply atau gagal penuhi komitmen," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5). (Baca juga: Rekening di Atas Rp 500 Juta di Bank Otomatis Dilaporkan ke Pajak)

Secara rinci, PMK bakal menjelaskan empat hal. Pertama, penjelasan mengenai objek yang harus dilaporkan sesuai standar pelaporan (Common Reporting Standard/CRS). Kedua, penjelasan prosedur identifikasi rekening keuangan atau due diligence sesuai CRS. Ketiga, penjelasan mengenai pihak yang harus melaporkan sesuai CRS dan kejelasan kerahasiaan data wajib pajak. Keempat, mekanisme pengenaan sanksi bagi pihak atau lembaga yamg wajib melapor.

Sri Mulyani mengungkapkan, Perppu dan peraturan pelaksananya perlu diterbitkan lantaran tanpa peraturan yang dimaksud, Indonesia mustahil melaksanakan AEoI. Penyebabnya, sederet undang-undang di dalam negeri mengatur bahwa Direktorat Jenderal Pajak baru bisa memperoleh data wajib pajak dari lembaga keuangan atas seizin otoritas terkait, bukan otomatis sebagaimana ketentuan AEoI.

Undang-undang (UU) yang dimaksud yakni UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Pasar Modal, serta UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sri Mulyani pun mengatakan, bila aturan primer dan sekunder terkait AEoI belum siap maka Indonesia bakal dianggap tidak kooperatif (non-cooperative juridiction). (Baca juga: Keterbukaan Data Bank Picu Dana Hengkang ke Properti dan Emas)

Bila itu terjadi, Indonesia tidak bisa mengikuti AEoI dan memperoleh informasi terkait wajib pajak Indonesia yang berada di luar negeri. Padahal, banyak konglomerat Indonesia yang diduga menyembunyikan dananya di luar negeri.

Sebagai gambaran, nantinya saat AEoI berlaku efektif pada 2018, otoritas pajak di negara-negara yang terlibat bakal mengirimkan data warga negara asing (WNA), di antaranya data keuangan, ke otoritas pajak di negara asal WNA tersebut. Dengan catatan, negara asal WNA harus juga melaksanakan AEoI.

Mengacu pada data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), hingga Mei ini, terdapat 100 negara atau yurisdiksi yang telah berkomitmen mengikuti AEoI. Sebanyak 50 di antaranya mulai melaksanakan komitmennya pada tahun ini, sedangkan sisanya tahun depan, termasuk Indonesia.

"Hong Kong sudah terapkan legislasi primernya untuk AEoI dan siap pertukarkan informasi keuangan untuk memenuhi level of playing field. Artinya mereka mau ikut pertukaran kalau negara (lainnya) mengikuti transparansi yang sama seperti mereka," kata dia. Ia menyebut Hong Kong, untuk menjelaskan bahwa negara suaka pajak (tax haven) yang menjadi tempat persembunyian dana konglomerat pun siap menjalankan AEoI.

Sri Mulyani mengatakan, negara-negara G20 termasuk negara suaka pajak seperti Hong Kong, Swiss, Panama, Singapura, Luxemburg, dan Uni Emirate Arab bahkan telah menandatangai kesepakatan untuk mengikuti AEoI. Kesepakatan itu tertuang dalam the Multilateral Competent Authority Agreemen (MCAA). Adapun, Indonesia telah menandatangani MCAA pada 3 April 2016 di Paris, Perancis.

Ia pun menekankan, bila Indonesia tidak ikut AEoI, maka Indonesia bukan hanya tak bisa mengakses data keuangan warga negara Indonesia di negeri suaka pajak, tapi Indonesia bisa dimanfaatkan warga negara asing sebagai tempat pencucian uang, pendanaan terorisme, perdagangan manusia, ataupun pembiayaan narkoba.