Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, perusahaan digital raksasa Google bakal menyerahkan pehitungan tagihan pajak versinya, Senin (17/4) ini. Sebelumnya, Ditjen Pajak telah menyampaikan perhitungannya kepada Google, namun perusahaan tak sepakat dengan hitungan tersebut.
"Senin (17/4) dia datang lagi dengan hitungan dia. Kan hitungan kami sudah, dia berhak bawa hitungan sendiri," ujar Ken dalam Media Gathering di Hotel BW Suites, Belitung, Minggu malam (16/4).
Nantinya, Ditjen Pajak akan melakukan pengkajian terhadap perhitungan versi Google. Sebab, perhitungan tagihan pajak tidak bisa sembarangan melainkan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ini artinya, Ditjen Pajak tidak akan langsung menerima perhitungan tersebut.
Sebelumnya, Ditjen Pajak sempat optimistis pihaknya bakal bersepakat dengan Google akhir 2016, namun gagal. Ken pun enggan memasang target lagi, kapan perusahaan digital asal Amerika Serikat (AS) itu akan membayar kewajiban pajaknya. (Baca juga: Google, Facebook, dan Twitter Diberi Waktu Bayar Pajak Hingga April)
"Kami di DJP (Ditjen Pajak) tidak mau ribut-ribut. Ini kan urusan dengan dunia juga. Nanti, seolah-olah orang pajak Indonesia terlihat ngawur melakukan perhitungan," ujar Ken.
Sebelumnya, Ken bersama jajarannya sempat mendiskusikan dengan otoritas pajak Inggris, Her Majesty's Revenue and Customs (HRMC) tentang pengejaran pajak global terhadap perusahaan-perusahaan digital raksasa Over The Top (OTT), dalam pertemuan di London, Inggris, Maret lalu. (Baca juga: Pemerintah Gandeng Otoritas Pajak Inggris Bahas Pajak Google)
Inggris tercatat sukses memungut pajak hingga £ 4,16 juta atau setara Rp 67 miliar dari perusahaan digital raksasa Facebook pada 2016 lalu. Pajak yang dibayarkan Facebook itu mencapai 1.000 kali lipat dari yang disetorkan pada 2014.
Menurut Komisioner HMRC, dalam mengejar pajak perusahaan OTT, pihaknya menerapkan Diverted Profit Tax (DPT) atau yang dikenal secara internasional sebagai "Google Tax". Pajak ini merupakan pajak agresif sebesar 25 persen dari keuntungan perusahaan yang belum berwujud Bentuk Usaha Tetap (BUT) bila terbukti keuntungannya dibawa ke negara lain yang pajaknya lebih rendah.
Pemerintah Indonesia diketahui sempat mengkaji kemungkinan penerapan pajak sejenis untuk mengejar pajak dari perusahaan OTT seperti Google, Facebook, dan Twitter. Namun, harus ada penguatan aturan perpajakan untuk itu. (Baca: Meniru Inggris, Ditjen Pajak Godok Aturan Baru Kejar Google)