Pemerintah akan mulai menerapkan kerja sama internasional pertukaran informasi secara otomatis (Authomatic Exchange of Information/AEoI) terkait perpajakan. Selain itu, pemerintah tengah menjalankan program tax amnesty. Namun, upaya tersebut dinilai belum mampu memberantas praktik penghindaran pajak.
Direktur International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) Victor van Kommer menyatakan, banyak cara yang dilakukan wajib pajak untuk menghindari kewajibannya. Polanya sama dengan perencanaan pajak atau tax planning, seperti mengalihkan keuntungan ke perusahaan cangkang baik di dalam ataupun luar negeri.
Dengan cara itu, besaran pajak yang ditagih ke perusahaan menjadi kecil atau bahkan tidak dipungut sama sekali karena laporan keuangan tercatat merugi. Praktik penghindaran pajak semacam ini yang ingin diberantas pemerintah.
Melalui AEoI, Direktorat Jenderal Pajak nantinya akan mendapatkan data wajib pajaknya dari otoritas lain di luar negeri. Pemerintah pun sudah menyiapkan banyak aturan, yang salah satunya juga dapat membuka data nasabah di perbankan. Menurut Kommer, tax planning terjadi karena ada pihak-pihak yang memanfaatkan sisi kompleksitas dari sistem perpajakan yang berlaku di masing-masing negara. Agar bisa memahami skema penghindaran seperti itu, butuh pemahaman yang baik mengenai sistem perpajakan di banyak negara.
(Baca: Aturan Terbit, Data Nasabah Asing Mulai Disetor ke Ditjen Pajak)
Persoalannya, pemerintah tak bisa begitu saja menerapkan aturan superketat kepada wajib pajak. Sebab, di sisi lain, investasi di Indonesia masih menggiurkan di mata pemodal asing lantaran pasarnya besar dan memiliki bonus demografi. Alhasil, aturan yang ketat akan membuat investor enggan menanamkan modalnya.
“Intinya, investor ingin menemui rezim perpajakan yang stabil. Itulah mengapa mereka melakukan perjanjian atau kerja sama yang bisa meringankan beban keuangan perusahaan,” kata Kommer dalam acara lokakarya mengenai tax planning di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (17/3).
Menurut dia, pemerintah harus serius memilah perusahaan yang memberi keuntungan besar bagi perekonomian dan mana yang tidak. Industri yang dianggap menguntungkan, semestinya diberi insentif pajak dan perlu diawasi secara baik hasil dari pelonggaran kebijakan tersebut.
Sebaliknya, bagi perusahaan yang tidak memberikan keuntungan besar, pemerintah dapat memperketat aturan perpajakannya. “Tak perlu menurunkan tarif (pajak terlalu rendah), karena Indonesia memiliki psar yang besar. Namun barangkali ada sektor yang bisa diberikan insentif,” ujarnya.
Pemerintah juga bisa menerapkan aturan agar perusahaan lebih transparan dalam menyampaikan laporan keuangannya. Dengan begitu, Ditjen Pajak bisa menghitung besaran pajak yang ditetapkan per wajib pajak.
Demi menunjang kebijakan ini, perlu adanya teknologi untuk memperbarui data yang dimiliki Ditjen Pajak. Selanjutnya, Ditjen Pajak dapat melakukan pengawasan dan pemetaan atas wajib pajak yang berpotensi menghindari pajak.
“Saya mendukung disclose seluruh tax planning yang ada. Tapi jangan berlebihan, ingat bahwa seluruh usaha di Indonesia ini berjalan bersama. Di Inggris dan negara lainnya ada mandatory discloser rules untuk tax planning. Tujuannya untuk memetakan perilaku tax planner,” kata dia.