Bank Indonesia (BI) mencatat aliran masuk dana asing (capital inflow) sepanjang awal tahun ini sudah mencapai Rp 9 triliun. Masuknya likuiditas valuta asing (valas) ini mendorong rupiah lebih stabil, bahkan cenderung menguat, terutama pada dua pekan pertama 2017.
Mengacu pada data Bloomberg, rupiah ditutup di level 13.473 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan terakhir tahun 2016. Memasuki 2017, rupiah cenderung menguat hingga sempat ditutup di level 13.281 pada Kamis (12/1), sebelum melemah tipis lagi ke level 13.338 pada Jumat (13/1) lalu. Pada Senin ini (16/1), mengawali pekan ketiga Januari, rupiah dibuka di level 13.325 per dolar AS.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, derasnya aliran masuk modal asing menunjukkan kepercayaan investor membaik terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi, sebagian dana asing itu juga masuk ke instrumen investasi jangka panjang. "Saya kira pandangan luar negeri bahwa confident pasar masih tinggi, dilihat arus modal asing masuk," katanya di Jakarta, Jumat pekan lalu (13/1).
Awal tahun ini, likuiditas valas juga terbantu oleh peningkatan pendapatan ekspor. Dalam catatannya, kenaikan harga komoditas seperti batubara dan minyak sawit mentah (Crude Price Oil/CPO) mendorong pendapatan ekspor dari sektor pertambangan. Selain itu, ekspor produk manufaktur seperti tekstil dan kendaraan bermotor juga menunjukkan peningkatan.
(Baca juga: BI Catat Defisit Transaksi Berjalan 2016 Terkecil dalam 5 Tahun)
"Kedua hal ini (kenaikan ekspor dan masuknya dana asing) berkontribusi pada stabilitas nilai tukar rupiah," ujarnya. Ia menduga, stabilitas nilai tukar juga terjadi lantaran pelaku pasar sudah mengantisipasi kebijakan yang akan diumumkan Presiden AS terpilih, Donald Trump. Begitu juga dengan peluang bank sentral AS, The Federal Reserver (The Fed), menaikkan bunga dana sebanyak dua kali tahun ini.
Di lain kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, pemerintah akan memantau dan mengkaji dampak yang mungkin timbul dari kebijakan yang diumumkan Trump. Ekspansi anggaran yang ingin dilakukan Trump semestinya bisa berdampak positif terhadap perekonomian dunia. Namun, jika kebijakan itu dengan sikap proteksionis, ada kecenderungan dampak negatif.
(Baca juga: Gara-Gara Trump, Miliarder Soros Merugi Rp 13 Triliun)
"Lihat bagaimana nett effect-nya lah di antara kedua sisi kebijakannya Pemerintah AS. Dan, pesannya adalah bahwa dari sisi domestik mereka akan menggunakan keseluruhan instrumen fiskalnya untuk ekspansi, tapi berarti kebijakan moneternya akan menetralisir," kata dia.
Menurut Sri Mulyani, naiknya pertumbuhan ekonomi dan inflasi, semestinya akan mendorong The Fed mengambil kebijakan yang lebih hawkish (agresif). Bila ini terjadi, bisa berdampak pada keluarnya dana asing secara tiba-tiba (sudden reversal) dari negara-negara ekonomi berkembang.
Kekhawatiran soal kebijakan hawkish The Fed juga sempat disinggung BI. Sebagai langkah antisipasi, bank sentral akan secara konsisten menerapkan bauran kebijakan terkait dengan aturan suku bunga, nilai tukar rupiah, dan pengawasan (surveillance) untuk menjaga stabilitas. Selain itu, BI akan menjaga cadangan devisa supaya cukup untuk memenuhi kewajiban di dalam negeri.
(Baca juga: Beban Utang Pemerintah Meningkat Akibat Kenaikan Bunga Fed)
Lebih jauh, BI juga sudah meningkatkan kerja sama dengan bank sentral negara lain. Belakangan, BI bekerja sama dengan Bank of Japan (BoJ) terkait Bilateral Swap Arrangement (BSA) senilai US$ 22,76 miliar. BSA ini merupakan kerja sama pertukaran cadangan devisa dolar Amerika Serikat (AS) antara Jepang dengan Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan likuiditas akibat permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.
Selain dengan Jepang, Indonesia tergabung dalam Chiang Mai Initiative Multilateralitation (CMIM). CMIM berisikan negara di Asia Tenggara ditambah negara Asia lainnya, seperti Jepang, Cina dan Korea Selatan. Pada awalnya, nilai likuiditas yang disediakan Chiang Mai Initiative hanya US$ 120 miliar. Namun pada 2014 nilainya dinaikkan menjadi US$ 240 miliar.