Dana repatriasi dari hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) mulai jadi rebutan. Pemerintah berharap dana tersebut masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai beragam proyek infrastruktur. Namun, kenyataannya mayoritas dana tersebut justru masih bertahan di perbankan.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengungkapkan, beberapa bank memang memberikan penawaran yang menarik agar dana repatriasi tetap bertahan di bank. “Ada beberapa (bank) yang menaikkan suku bunga supaya tetap di deposito,” katanya kepada Katadata, Jumat (6/1).
Menurut dia, dana segar dari hasil repatriasi itu menjadi incaran bank-bank untuk memupuk simpanan. Sebab, saat ini likuiditas bank cenderung masih ketat.
Penawaran spesial tersebut dibenarkan Direktur Keuangan Bank Mandiri Pahala Mansury. “Kami memang ada program khusus untuk menarik dana repatriasi dan cukup membantu likuiditas perbankan, khususnya untuk likuiditas valas (USD),” kata dia.
Sejauh ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dana repatriasi yang telah masuk ke perbankan sebesar Rp 89,6 triliun atau 63,6 persen dari total komitmen dana repatriasi yang sebesar Rp 141 triliun. (Baca juga: Ikut Tax Amnesty, Cuma 1 Persen WNI di Singapura Pulangkan Harta)
Menurut David, meski mayoritas dana repatriasi masih mengendap di perbankan dalam bentuk deposito, dana yang masuk ke SBN juga sudah cukup besar. Porsinya hampir 50 persen dari total dana repatriasi.
Adapun SBN dipilih lantaran imbal hasilnya (yield) memang lebih besar dari bunga deposito. Namun, menurut David, biasanya penempatan dana di SBN bersifat sementara, sambil pemilik dana mencari instrumen lain yang dianggap prospektif.
Selain ke deposito dan SBN, David menambahkan, pemilik dana memiliki berbagai opsi penempatan lain. Misalnya untuk mengembangkan usahanya sendiri dengan membeli tanah atau saham yang terkait dengan usahanya. Selain itu, pemilik dana juga akan masuk ke obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membiayai proyek infrastruktur.
Kendati mulai banyak dana yang masuk ke SBN, David menjelaskan, bukan berarti perbankan tak akan kebagian likuiditas dari dana repatriasi. Sebab, pembiayaan dari SBN akan digunakan oleh pemerintah untuk belanja, sehingga bakal masuk lagi ke perbankan dalam bentuk giro.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai tak masalah ke mana dana repatriasi berlabuh: deposito atau SBN. “Dua-duanya juga bagus. Kan perbankan likuiditasnya lagi ketat. Itu membantu. Tapi kalau mengacu ke UU (Undang-Undang Pengampunan Pajak), diarahkan ke pasar SUN, baru BUMN atau sektor riil,” katanya.
Pemerintah perlu mengarahkan dana repatriasi ke SUN lantaran banyak proyek infrastruktur yang perlu didanai tahun ini. Pasar SUN sendiri diyakininya masih prospektif. Hal tersebut mengacu pada tingginya peminat lelang perdana SUN, Selasa lalu (3/1). Total penawaran yang masuk mencapai Rp 36 triliun, meski pemerintah akhirnya cuma menetapkan penerbitan SUN sebesar Rp 15 triliun.
(Baca juga: Digoyang JP Morgan, Lelang Perdana Obligasi Negara Laku Keras)
Sementara itu, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menduga dana repatriasi yang masuk ke SBN tidak akan signifikan. Apalagi, hingga kini, ia pun belum melihat ada lompatan kepemilikan SBN dari individu.
Meski begitu, ia menilai positif bila ada aliran besar dana repatriasi yang akan masuk ke SBN. Sebab, bisa membantu pemerintah menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, dana tersebut akan mempertebal cadangan devisa lantaran dikonversi ke rupiah.
Beda cerita bila dana repatriasi disimpan di deposito bank. Dana tersebut belum bisa bermanfaat maksimal karena penyaluran kredit yang masih rendah. Apalagi, perbankan masih dalam tahap bersih-bersih kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL). (Baca juga: Kinerja Bank 2016, Hanya Kredit Investasi yang Tumbuh Positif)
“Kalau ditaruh di bank bisa dijadikan pasokan valuta asing (valas). Tapi kalau ditaruh di SBN, bisa dipakai untuk (atasi) defisit anggaran dan itu dirupiahkan jadi bisa menambah cadangan devisa,” katanya.