Mengawali pekan terakhir tahun 2016, nilai tukar rupiah masih betah bertengger di level 13.400-an per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah berada di level ini sejak pekan lalu. Depresiasi terjadi seiring dengan keputusan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga dananya (Fed Fund Rate) pada 15 Desember lalu.
Sebagai perbandingan, sehari sebelum pengumuman Fed Fund Rate yaitu pada Selasa (14/12), nilai tukar rupiah ditutup pada level 13.294 per dolar AS. Dalam perdagangan Selasa (27/12) ini, rupiah dibuka di level 13.449 per dolar AS. Artinya, pelemahan rupiah telah mencapai 1,16 persen dalam dua pekan terakhir.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, pergerakan rupiah di kisaran 13.400 per dolar AS ini karena ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate di 2017. Ada kekhawatiran The Fed menaikkan bunga dananya hingga tiga kali, melebihi proyeksi awal yang sebanyak dua kali. (Baca juga: Efek Trump, Ringgit Anjlok Terendah Sejak Krisis 1998)
Seperti tahun lalu, rupiah juga melemah usai The Fed menaikkan bunga dananya. Pelemahan terjadi karena pelaku pasar khawatir terhadap kenaikan di tahun berikutnya. Dalam catatannya, indeks dolar AS saat ini sudah menyentuh level 103. “Ini indeks dolar tertinggi sejak 14 tahun lalu, terjadi setelah The Fed menaikkan suku bunga di Desember (2016),” kata dia kepada Katadata, Selasa (27/12).
Hingga akhir tahun ini, Ariston memperkirakan rupiah akan bergerak di level 13.400 - 13.530 per dolar AS. Pasar akan menunggu kebijakan yang akan diutarakan oleh Presiden AS terpilih, Donald Trump pada Januari nanti. (Baca juga: Ekonom: Jangan Khawatir, Rupiah Tak Bakal Terpukul)
Sementara dari dalam negeri, Ariston melihat tidak ada sentimen positif. Pelaku pasar masih menunggu masuknya dana asing dari program pengampunan pajak (tax amnesty). Sejauh ini, Direktorat Jenderal Pajak mencatat total komitmen dana repatriasi sebesar Rp 141 triliun.
Dari jumlah itu, besaran dana yang telah masuk, menurut data Bank Indonesia, masing-masing sebesar Rp 42 triliun dan Rp 25 triliun pada Oktober dan November lalu. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung berharap masuknya dana repatriasi dan dana asing ke obligasi dan saham bakal mempertebal cadangan devisa.
Dengan demikian, kemampuan BI menjaga stabilitas nilai tukar juga menguat. “Sebelumnya sudah masuk Rp 7 triliun (di awal Desember) itu dari portfolio,” katanya. (Baca juga: BI Klaim Cadangan Devisa Cukup Hadapi Gejolak Awal 2017)
Sekadar informasi, pelemahan mata uang bukan hanya dialami rupiah tapi mayoritas mata uang Asia. Hingga Selasa siang, pelemahan paling besar dialami bath Thailand sebesar 0,42 persen, diikuti won Korea sebesar 0,34 persen dan dolar Taiwan sebesar 0,3 persen. Sedangkan rupiah melemah 0,06 persen ke level 13.443 per dolar AS.