Pertebal Dana Penjaminan, LPS Kaji Penerbitan Obligasi

Arief Kamaludin (Katadata)
10/12/2016, 11.00 WIB

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berencana menerbitkan obligasi untuk mempertebal dana cadangan penjaminan. Tujuannya, agar institusi memiliki dana yang cukup bila sewaktu-waktu ada bank yang harus diselamatkan atau ditutup. 

Ketua Dewan Komisoner LPS, Halim Alamsyah merinci, cadangan LPS baru sebesar Rp 70 triliunan. Mayoritas dana tersebut berasal dari premi penjaminan yang rutin dibayarkan bank. Yang perlu dicermati, nominal tersebut baru sekitar 1,4 persen dari total dana simpanan nasabah di perbankan. Idealnya, dana cadangan mencapai 2,5 persen dari dana simpanan atau sekitar Rp 120 triliunan.   

"Kalau ada bank (beraset) Rp 50 triliun gagal kita masih kuat, kalau sudah di atas Rp 100 triliun ya sudah gak kuat, harus menerbitkan obligasi," ucap Halim usai menghadiri acara International Forum on Economic Development and Public Policy, di Hotel Hilton, Bali, Jumat (9/11). 

Penerbitan obligasi tersebut dimungkinkan sesuai Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Halim menjelaskan, sesuai uu tersebut, Indonesia tak lagi menganut sistem bailout dari duit negara untuk penyelamatan bank gagal. "Dananya akan datang dari LPS. Apabila LPS kurang, LPS boleh menerbitkan obligasi dan obligasi ini dalam kondisi krisis boleh dijual ke Bank Indonesia," kata dia. 

Sejauh ini, LPS masih mengkaji secara hukum rencana tersebut. Sebab, penerbitan obligasi yang diinginkan LPS bukan dalam kondisi krisis. Meski begitu, menurut Halim, dalam UU PKSSK tidak ada larangan untuk LPS menerbitkan obligasi dalam kondisi normal. 

Halim khawatir, bila pihaknya harus menunggu krisis baru menerbitkan obligasi, pasar kaget sehingga obligasi tak terserap pasar. Jadi, penerbitan obligasi lebih awal tersebut bisa juga dilihat sebagai langkah uji coba pasar. "Semacam simulasi bagi kesiapan LPS," kata dia. 

Sejauh ini, menurut Halim, perbankan dalam kondisi baik. Namun, ia mengakui ada bank-bank kecil yang memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mepet di kisaran 12 persenan. Karena kondisi itu, bank-bank tersebut tidak berani melakukan ekspansi kredit. Sebab, bila ekspansi, bank harus menambah modal. 

Bila kondisi itu terus berlanjut, bank bisa kalah dalam persaingan bisnis. Alhasil, keuntungan usaha semakin menipis, bahkan berbalik jadi rugi. (Baca juga: Ketika Bank-bank Diterjang Lonjakan Kredit Bermasalah)

Meski begitu, Halim meyakinkan, kondisi keuangan perbankan masih terkendali. Apalagi, bank-bank kecil yang bermodal mepet itu biasanya memiliki bantalan likuiditas yang cukup tinggi yaitu di kisaran 23 persenan. Sementara itu, bank-bank besar mengalokasikan cadangan likuiditas yang lebih sedikit yaitu di kisaran 15 persenan. Hal itu lantaran bank-bank besar memiliki permodalan yang jauh lebih kuat.

Sekadar informasi, LPS memiliki dua opsi dalam menangani bank gagal, yaitu dengan menyelamatkan atau menutup. Opsi penyelamatan harus dilakukan untuk bank-bank yang masuk kategori bank sistemik. Sementara untuk bank bukan sistemik, "Pilihannya tidak banyak," kata Halim. (Baca juga: LPS: 12 Bank Sistemik Bukan Berarti Kondisinya Buruk)