Bank Indonesia (BI) menyoroti lambannya bank menurunkan bunga kredit meskipun bunga deposito sudah berkurang lebih satu persen sejak awal tahun ini. Penyebabnya, bank diduga memilih memperbesar margin keuntungan untuk menambal kerugian akibat kredit bermasalah.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung merinci, bunga kredit baru turun 0,62 persen sejak awal 2016. Padahal, dalam waktu yang sama, bunga deposito sudah berkurang 1,3 persen. Penurunan ini seiring dengan kebijakan bank sentral yang telah berkali-kali memangkas suku bunga acuan hingga berada di level terendah sepanjang sejarah yaitu 4,75 persen.

“Kami lihat ada pelebaran margin keuntungan dari bank saat ini, (suku bunga) deposito diturunkan terus tapi (bunga) kreditnya masih tinggi. Sebagian (margin) untuk cover kenaikan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL),” ujarnya di Bali, Sabtu lalu (3/12). (Baca juga: Ketika Bank-bank Diterjang Lonjakan Kredit Bermasalah)

Di sisi lain, Juda melihat, lambannya perbankan dalam merespons penurunan suku bunga acuan membuat pembiayaan non-bank menjadi lebih menarik. Alhasil, pembiayaan non-bank tumbuh tinggi saat kredit bank tumbuh melambat.

Sebagai perbandingan, pembiayaan non-bank tumbuh 26,2 persen dari Rp 237,9 triliun tahun lalu menjadi Rp 300,3 triliun per Oktober 2016. Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibanding kredit bank yang hanya naik 7,5 persen pada Oktober dan diperkirakan tumbuh 8,3 persen pada November lalu. (Baca juga: Banyak Perusahaan Berburu Pendanaan Murah dari Pasar Modal)

Adapun pembiayaan non-bank yang sebesar Rp 300,3 triliun terdiri dari penerbitan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) dan sertifikat deposito (Negoitable Certificate Deposit/NCD) sebesar Rp 166,9 triliun. Selain itu, obligasi korporasi Rp 83 triliun, penerbitan saham baru (rights issue) dan aksi kepemilikan saham lainnya senilai Rp 50,4 triliun.

Melihat perkembangan ini, Juda mengingatkan agar bank melakukan efisiensi untuk menurunkan bunga kredit. Sebab, bila tidak, pelaku usaha kemungkinan besar akan beralih ke pembiayaan non-bank yang biayanya lebih murah.

Namun, di sisi lain Juda merespons positif diversifikasi pembiayaan ke nonbank. Sebab, diversifikasi pembiayaan membuat pasar keuangan menjadi lebih dalam dan punya daya tahan kuat (resilient).

“Kalau hanya bergantung pada bank, ketika bank hadapi masalah, akan jadi mudah untuk kekurangaan pembiayaan," ujar dia. Apalagi, pertumbuhan dana nasabah juga masih lambat, yaitu cuma 6,5 persen per Oktober meski diproyeksi naik menjadi 8,1 persen pada November lalu. (Baca juga: Likuiditas Bank Terancam Ketat, BI Siap Ubah Hitungan GWM)

Senada dengan Juda, Ekonom Kenta Institute Eric Sugandi mengakui pembiayaan melalui penerbitan obligasi korporasi menjadi pilihan menarik bagi dunia usaha. Hal tersebut seiring dengan tren penurunan imbal hasil (yield) dan bertambahnya likuiditas ke sistem keuangan.

Likuditas yang dimaksud berasal dari repatriasi dana dari hasil program pengampunan pajak (tax amnesty) dan pelonggaran kebijakan moneter BI, baik melalui penurunan suku bunga acuan (BI 7-Day Repo Rate) ataupun Giro Wajib Minimum (GWM).

“Karena suku bunga kredit di bank masih tinggi, pembiayaan nonbank jadi lebih menarik,” tutur Eric. Dia memperkirakan penyaluran kredit tahun ini hanya 7-8 persen, sedangkan untuk pembiayaan nonbank berpeluang tumbuh lebih tinggi lagi.

(Baca juga: Puncak Kredit Bermasalah Lewat, Investasi Bisa Bangkit 2017)

Pendapat berbeda disampaikan Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih. Ia meyakini, turunnya penyaluran kredit lebih disebabkan oleh perlambatan ekonomi. Sebab, ekonomi yang melambat telah menyulut naiknya rasio kredit bermasalah. Alhasil, bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit.

Ia pun yakin, ketika ekonomi tumbuh lebih baik di tahun depan maka bank akan lebih gencar menyalurkan kredit. Proyeksinya, kredit baru akan membaik pada kuartal III tahun depan. “Akan ada perbaikan (penyaluran kredit) karena bank wajib memberikan ke sektor infrastruktur, dari situ bank terbantu kreditnya naik,” ujar Lana.

Ia memperkirakan, penyaluran kredit bakal mulai naik di kuartal II-2017 karena faktor musiman lebaran dan bulan puasa, sebelum betul-betul menanjak pada kuartal III tahun depan.