Bank Indonesia (BI) memperkirakan tantangan likuiditas dana semakin besar sehingga likuiditas bank terancam mengetat pada tahun depan. Untuk mengantisipasi tantangan itu, BI berencana memperlonggar kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu tidak lagi menetapkan batasan minimum GWM bagi perbankan tapi mematok pembayaran GWM secara rata-rata atau GWM averaging.
Sebagai informasi, GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu. Nilainya ditetapkan oleh BI sebesar persentase tertentu dari dana nasabah (dana pihak ketiga/DPK). Dananya disimpan dalam bentuk saldo rekening giro di BI dan dalam bentuk surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, dan Surat Berharga Negara atau Excess Reserve.
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, ke depan, bank tidak perlu menjaga GWM secara minimum, tapi cukup menjaga level GWM pada nilai rata-rata di periode tertentu. Dengan begitu, bank bisa lebih aktif bertransaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Selain itu, pengelolaan treasury perbankan jadi lebih efisien dan bank punya ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit.
(Baca juga: Simpanan Nasabah di Bank Seret, BI Jamin Likuiditas Cukup)
“Yang penting averaging, tidak minimum, dijaga pada saat satu hari (likuiditas) tinggi bisa dikonversi pada satu hari yang rendah. Itu ingin kami wujudkan,” kata Agus saat acara Pertemuan Tahunan BI di Jakarta, Selasa (22/11) malam. Kebijakan yang dijadwalkan terbit pada semester II tahun depan itu juga digadang-gadang bisa memperkuat operasi moneter.
Sejauh ini, BI masih mengkaji kebijakan tersebut agar tidak justru menyebabkan kelebihan atau kekurangan likuiditas di pasar. Untuk itu, BI meminta bank membuat rencana bisnis terkait penerapan GWM averaging tersebut. “Tinggal masalah maintenance periodenya. Apakah periodenya dua minggu atau seminggu nanti akan kami sampaikan,” kata Agus.
Ke depan, BI melihat likuiditas bank masih akan terkena dampak dari penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) yang berlangsung hingga Maret 2017. Sebab, nasabah yang ingin mengikuti program ini masih akan menarik dana dari bank untuk membayar uang tebusan. (Baca juga: Sri Mulyani: Penghasut Rush Money Akan Ditindak Tegas)
Ekonom Bahana Securities Fakhrul Fulvian menyambut positif rencana BI tersebut, sebab bakal menolong bank mengatasi masalah likuiditas. Selama ini, bank harus membayar GWM setiap akhir hari. Dengan adanya kebijakan pembayaran likuiditas secara rata-rata untuk suatu periode tertentu, perbankan akan memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit.
''Dengan pemberlakuan GWM rata-rata ini, akan membantu untuk meminimalisir fluktuasi suku bunga pasar uang jangka pendek dan memberikan fleksibilitas bagi bank dalam menjaga likuiditasnya," kata Fakhrul.
Lebih jauh, dia menjelaskan, penyaluran kredit yang lebih baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tahun depan, BI memperkirakan ekonomi bisa tumbuh di kisaran 5 - 5,4 persen. (Baca juga: BI: Belanja Besar dan Bunga Rendah Bisa Topang Ekonomi 2017)
Sekadar catatan, likuiditas bank memang terpantau mengetat pada September lalu saat penutupan periode pertama tax amnesty. Hal itu tampak dari pertumbuhan dana nasabah yang hanya sebesar 3,15 persen. Sementara itu, rasio kredit terhadap dana nasabah (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 90,04 persen pada Agustus menjadi menjadi 91,7 persen pada September.
Seiring dengan pengetatan likuiditas, tren perlambatan pertumbuhan kredit juga terus berlanjut. Kredit cuma tumbuh 6,47 persen pada September lalu, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 6,83 persen. Tim ekonom Bank Mandiri bahkan menyebut, pertumbuhan kredit tersebut merupakan yang terendah sejak 2009. Meski begitu, rasio kredit macet (non performing loan/NPL) sedikit membaik dari 3,2 persen pada Agustus menjadi 3,1 persen pada September.