Negara berpotensi memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 202,7 miliar dari barang sitaan dan rampasan terkait tindak pidana korupsi. Barang-barang tersebut berasal dari hasil penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan yang tercatat hingga Juli lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyanimemiliki wewenang dalam mengelola aset negara yang diperoleh dari barang sitaan dan rampasan tersebut. Hal itu sesuai Peraturan Presiden (perpres) Nomor 27/2016. Adapun cara-cara pengelolaannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3/2011.
Barang itu bisa dijual melalui proses lelang, menetapkan status penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganannya dalam bentuk hibah, pemusnahan, ataupun penghapusan. “Atas dasar PMK tersebut, Menteri Keuangan punya tanggung jawab atas penetapan status dan penghapusan barang sitaan atas usulan kejaksaan dan KPK,” katanya saat Rapat Koordinasi (Rakor) bertajuk “Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang Rampasan dalam Rangka Pemulihan Aset Hasil Tipikor’ di Jakarta, Senin (21/11).
(Baca juga: Penerimaan Negara Terancam Makin Seret Tahun Depan)
Menurut Sri Mulyani, khusus untuk barang rampasan, tata kelolanya harus transparan, akuntabel, dan mengikuti standar akutansi yang berlaku. Sebab, barang rampasan termasuk dalam bagian milik negara. Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan memberikan layanan dalam penilaian dan lelang barang rampasan.
Ia pun mendorong sinergi antara jaksa eksekutor dengan entitas di Kementerian dan Lembaga, yakni di bagian kesekretariatan dalam pengelolaan barang rampasan. Sekadar catatan, barang rampasan adalah barang milik negara yang berasal dari barang bukti yang dirampas dari pengadilan yang telah memeroleh status hukum tetap.
(Baca juga: Pemerintah Pacu Belanja, Ekonom: Pembiayaannya Bagaimana? )
Adapun untuk barang sitaan, Sri Mulyani menjelaskan, wewenangnya terletak di penegak hukum bukan di Kementerian Keuangan. Namun, Menteri Keuangan tetap berperan memberikan layanan penilaian soal barang sitaan yang akan dilelang dan dieksekusi. Dalam catatannya, nilai barang yang diusul KPK mencapai Rp 142,4 miliar berupa tanah dan bangunan tahun ini. Sedangkan yang non bangunan senilai Rp 19,1 miliar.
Barang yang dilelang nantinya akan masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pemulihan aset ini kemudian bisa menggantikan kerugian negara. “Pemulihan aset ini juga untuk menggantikan kerugian negara untuk optimalisasi pengelolaan aset dan PNBP,” tutur Sri Mulyani.
Jenis Barang | 2014 | 2015 | Juli 2016 |
Nilai barang yang diusul KPK | |||
Tanah dan Bangunan | 53,4 | 319,43 | 142,37 |
Non Bangunan | 10 | 11,10 | 19,10 |
Hasil lelang yang dibukukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara | |||
Barang Sitaan | 35,2 | 29,7 | 10,2 |
Barang Rampasan | 80,4 | 73,8 | 25,4 |
Barang Sitaan berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor | 0,670 | 3,3 | 5,6 |
TOTAL | 179,67 | 437,33 | 202,7 |
Catatan: *dalam Rp miliar
Pada kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan beberapa kendala yang mempersulit proses pemulihan aset. Kendala yang dimaksud yakni persyaratan perlengkapan lelang yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya, anggaran yang tidak cukup pada kesatuan kerja di wilayah, tidak lengkapnya dokumen yang diperlukan dalam proses lelang, serta adanya putusan pengadilan yang tidak sinkron dengan kebutuhan data dalam proses lelang.
“Sekarang tengah diupayakan terobosan dalam pengelolaan penyelesaian barang sitaan dan rampasan. Kami mendukung sepanjang penguatan tidak bertentangan dengan prinsip universal yang ada dalam pengadilan,” ujar Prasetyo.