BI Waspadai Gejolak Pasar Berlanjut Hingga Januari 2017

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
18/11/2016, 10.21 WIB

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowadojo memperkirakan gejolak pasar akibat situasi yang tidak kondusif dari luar negeri saat ini masih akan berlanjut hingga Januari tahun depan. Gejolak pasar itu terjadi sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 8 November lalu hingga pelantikannya dan penetapan kabinetnya pada 20 Januari 2017.

Menurut Agus, BI masih terus mewaspadai tindak lanjut dari kebijakan ekonomi yang dijanjikan Trump saat masa kampanyenya. Antara lain, kebijakan memperbesar defisit anggaran AS karena Trump akan memangkas pajak tetapi di sisi lain ingin meningkatkan pengeluaran.

Selain itu, mencermati sikap proteksionis Trump terhadap perdagangan AS dengan negara-negara lain, khususnya Cina. BI melihat adanya kebijakan intervensi yang besar dan agresif ke negara yang dianggap tidak menjalankan perdagangan secara wajar.

(Baca: Ekonomi Dunia Tak Menentu, BI Tahan Suku Bunga Acuan)

BI juga mewaspadai kebijakan moneter bank sentral AS, the Federal Reserve. Menurut Agus, semakin besar kemungkinan bank sentral AS menaikkan suku bunga dana Fed rate pada Desember nanti. Bahkan, kemungkinan kenaikan suku bunga itu akan dilakukan dua kali pada tahun depan.

Berbagai kebijakan itu akan memicu hengkangnya dana asing dari Indonesia dan melemahkan mata uang rupiah terhadap dolar AS. Agus menjelaskan, BI telah mewaspadai hal itu sejak rupiah tertekan pada 8 November lalu. Selama kurun 8-16 November, rupiah sudah melemah 2,23.

Padahal, sepanjang kuartal III lalu, BI mencatat rupiah menguat 1,39 persen ke level 13.130 per dolar AS. Penguatan tersebut seiring dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang cenderung stabil. Bahkan, sejak awal tahun, rupiah masih menguat 2,97 persen meski sudah tergerus oleh faktor Trump.

“Setelah pilpres di AS itu kami ikuti bahwa kondisi dari pasar Non Delivery Forward (NDF) di Singapura itu ada penurunan tajam kurs rupiah. Pilpres AS ini membuat banyak ketidakpastian sehingga ada capital outflow, banyak portfolio manager cenderung lepas posisinya,” kata Agus di Jakarta, Kamis (17/11).

(Baca: Tiga Jurus Pemerintah Hadapi Tantangan Ekonomi 2017)

Meski begitu, dia memastikan BI akan terus hadir di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Tapi, BI tidak akan membatasi pasar untuk menjaga rupiah, seperti yang dilakukan bank sentral negara tetangga. “Indonesia akan tetap menjaga sistem devisa bebas. Kami jaga rupiah fleksibel tapi kami yakini itu ekspresi dari fundamental,” ujar dia.

Pertimbangan lainnya, pasar keuangan Indonesia lebih kecil dibanding negara lain, yakni hanya US$ 2 miliar dan sekitar US$ 5 miliar per hari jika ditambah dengan korporasi. Berbeda dengan Thailand dan Malaysia berkisar US$ 5 miliar, serta Singapura US$ 350 miliar. Jadi, intervensi yang dilakukan BI tidak besar sehingga tidak menguras cadangan devisa yang saat ini sekitar US$ 115 miliar.

Di tempat yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, BI akan terus mencermati kondisi eksternal hingga Januari mendatang. Setelah pemilihan kabinet di AS, ia yakin kebijakan pemerintahan Trump ke depan sudah bisa dipastikan.

Selain itu, pada Desember nanti, rapat bank sentral AS diharapkan bisa memperjelas arah kebijakan moneter AS ke depan. “FOMC pada 14 Desember bisa dilihat kejelasan policy ke depan. Jadi periode November, Desember, Januari ini kami cermati,” tutur Mirza.

(Baca: Rencana 200 Hari Presiden Trump: Setop Pakta Dagang NAFTA dan TPP)

Menurut dia, dampak negatif dari kemenangan Trump bukan hanya dirasakan oleh Indonesia. Analisis bahwa defisit anggaran di AS akan meningkat, sehingga imbal hasil (yield) surat utang pemerintah naik 0,5 persen menjadi 2,2-2,3 persen.

Mirza menilai, kenaikan sebesar itu cukup signifikan terjadi pada surat utang pemerintah. Hal itu kemudian berimbas pada pelemahan mata uang di banyak negara. “Ada sesuatu di global yang signifikan, maka harus kami perhatikan karena Indonesia banyak tergantung pada investasi portofolio, penanaman modal asing (PMA) dan utang luar negeri (ULN),” ujar Mirza.