Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai transaksi perusahaan layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) mencapai US$ 14,5 miliar atau sekitar Rp 193 triliun pada tahun ini. Jumlah tersebut hanya 0,6 persen dari total nilai transaksi fintech global yang diprediksi US$ 2,4 triliun atau sekitar Rp 32 ribu triliun.

Sementara itu, rata-rata nilai transaksi fintech per kapita di Indonesia diperkirakan US$ 58 tahun ini atau naik tipis dari tahun lalu yang tercatat US$ 56,9. Dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan fintech Indonesia masih lebih rendah. Dengan India, misalnya. Secara nominal, transaksi fintech di negara tersebut mencapai US$ 33 miliar.

Sementara itu Inggris, Amerika Serikat, Cina, dan Australia masing-masing diprediksi mencatatkan nilai US$ 168,5 miliar, US$ 769,3 miliar, US$ 441 miliar, dan US$ 26 miliar dalam transaksi fintech. (Baca: Makin Menjamur, OJK Menaungi 120 Perusahaan Fintech)

Sedangkan nilai transaksi fintech di Singapura memang lebih kecil dari Indonesia, yaitu US$ 10,6 miliar pada tahun ini. Namun, nilai transaksi individualnya mencapai US$ 1.937,9 per kapita. Begitu pula dengan Hong Kong, yang diperkirakan membukukan transaksi US$ 12,6 miliar dengan transaksi perorangan US$ 1.739,9.

Untuk memacu dan mengantisipasi peningkatan transaksi lebih lanjut, BI menyiapkan aturan transaksi fintech di Indonesia.  “Kami meyakini, regulasi perlu selalu berada di dekat inovasi, sambil mencermati berbagai potensi risiko yang timbul, iklim berusaha yang kondusif perlu diwujudkan,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat peluncuran BI-Fintech Office (BI-FTO) di Gedung BI, Jakarta, Senin (14/11).

Agus menjelaskan empat fungsi BI-FTO. Pertama, sebagai katalisator atau fasilitator pertukaran ide inovatif untuk pengembangan fintech di Indonesia. Kedua, sebagai business intelligence dengan memberikan informasi terbaru secara rutin, termasuk hasil kajian dan pertemuan dengan kementerian, otoritas, dan lembaga internasional.

Ketiga, fungsi penilaian. Dalam hal ini, BI-FTO melakukan pemantauan dan pemetaan atas potensi manfaat, sekaligus risiko dari inovasi model bisnis dan produk yang ditawarkan. Hasil tersebut nantinya menjadi dasar perumusan kebijakan BI. (Baca: OJK Siapkan Aturan Tata Kelola Risiko Layanan Teknologi Finansial)

Melalui fungsi tersebut, BI menerapkan inisiatif yang disebut Regulatory Sandbox. Agus menganalogikannya sebagai sebuah laboratorium yang digunakan bersama oleh pelaku fintech dan regulator untuk menguji model bisnis dan layanan sebelum masuk ke dalam rezim perizinan secara penuh. Pengujian dilakukan dalam lingkungan terbatas untuk memastikan identifikasi dan mitigasi seluruh risiko yang mungkin timbul.

Pembatasan diberikan dalam bentuk perizinan terbatas pada layanan, jangka waktu, dan atau wilayah penyelenggaraan. Melalui Regulatory Sandbox, regulator dapat memonitor secara intensif keberlangsungan fintech dalam perimeter risiko yang terjaga. Selain menjadi bahan evaluasi, inisiatif ini juga memberikan ruang bagi otoritas untuk mengambil langkah antisipatif dan korektif di waktu yang tepat apabila diperlukan.

Keempat, fungsi koordinasi dan komunikasi. BI-FTO pun berperan memberikan pemahaman atas kerangka pengaturan yang ada, dan mendorong harmonisasi regulasi lintas otoritas. (Baca: Minimalkan Penipuan, Aturan Fintech Diminta Segera Terbit)

“Di tengah tren pertumbuhan yang eksponensial, data menjadi aset utama bagi regulator dan pelaku industri sebagai dasar pengambilan keputusan,” ujar Agus. Data yang didapat bisa dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas respons kebijakan.

Reporter: Desy Setyowati