Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Haddad mengatakan besarnya kenaikan kredit bermasalah saat ini (NPL) merupakan imbas dari penurunan harga komoditas sejak tahun lalu. Kondisi tersebut mendorong kredit bermasalah sektor pertambangan meningkat dan meluas ke sektor lainnya.
Sektor yang ikut terseret terutama yang berkaitan dengan tambang seperti sewa alat berat dan transportasi. “Pemburukannya berlanjut (hingga Agustus),” kata Muliaman usai acara Indonesia Banking Human Capital di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis, 13 Oktober 2016.
Awalnya, OJK memperkirakan tren kenaikan kredit bermasalah ini mencapai puncaknya pada semester satu kemarin. Namun, tren tersebut terus berlanjut hingga Agustus sebesar 3,2 persen dari sebelumnya 2,9 persen secara gross. (Baca: Lima Bank Syariah Pikul Beban Berat Pembiayaan Bermasalah).
Menurut Muliaman, yang terpenting bagi perbankan selalu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Salah satunya yaitu dengan memperbesar pencadangan atau provisi. Untungnya, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) berada pada posisi 23 persen sehingga bisa mengantisipasi kondisi yang tidak sesuai harapan.
Yang penting bank sudah membentuk pencadangan yang memadai, karena sebetulnya NPL nett 1,4 persen dan tidak berubah selama tiga sampai empat bulan,” tutur Muliaman.
Ke depan, dia melanjutkan, tren peningkatan kredit bermasalah akan sangat bergantung pada pertumbuhan kredit. Jika kredit tumbuh besar, NPL juga berpotensi meningkat lantaran komponen pembagi dalam perhitungannya juga naik.
Oleh karena itu, kondisi kredit saat ini sangat bergantung dari dampak pelaksanaan program pengampunan pajak alias tax amnesty dan besarnya dana asing yang masuk (capital inflow). Amnesti pajak diharapkan mendorong minat industri untuk investasi sehingga meningkatkan permintaan kredit. Efek lanjutanya, perbaikan ekonomi diharapkan bisa menurunkan NPL.
“Potensi pertumbuhan ekonomi kuartal tiga dan empat, kami pantau masih terus. Beberapa pihak optimistis tapi ada yang katakan relatively stagnan. Dengan optimisme tax amnesty dan capital inflow, semoga semua ini bisa mendorong optimisme menutup 2016,” kata dia.
Sebelumnya, OJK juga berencana memperketat pengawasan terhadap perbankan seiring dengan meningkatnya NPL. Selain itu, otoritas akan memberikan pendampingan dan konsultasi kepada perbankan. (Baca pula: Penyaluran Kredit Agustus Makin Seret, Peredaran Uang Menyusut).
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyatakan rasio NPL perbankan secara umum masih terkendali dan terus diawasi pergerakannya. Namun, dia menolak membahas kondisi masing-masing bank.
Secara umum, dia melanjutkan, rasio NPL perbankan masih terkendali. Namun Otoritas tetap melakukan langkah pencegahan karena peningkatan kredit bermasalah berkaitan dengan kondisi ekonomi global yang masih tak menentu. OJK juga menyiapkan pengaturan-pengaturan untuk memitigasi risiko.
Berdasarkan catatan Katadata, terdapat sejumlah bank yang memiliki rasio NPL gross di atas rata-rata NPL industri yang berada di level 3,18 persen per Juli lalu. Rasio ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 3,05 persen. Di antara 10 bank beraset terbesar, misalnya, terdapat enam bank yang membukukan NPL di atas tiga persen.
Mereka adalah Bank Permata dengan rasio NPL gross 4,6 persen per Juni 2016, Bank CIMB Niaga sebesar 3,97 persen, Bank Maybank Indonesia 3,85 persen, Bank Mandiri 3,74 persen, BTN sebesar 3,41 persen, dan Bank Danamon 3,3 persen.
Rasio NPL gross beberapa bank beraset menengah dan kecil juga terpantau tinggi. Bahkan, rasio NPL gross Bank of India Indonesia pada Juni lalu sudah mencapai 26,24 persen. (Baca juga: BI: Kredit dan Investasi Bakal Meningkat setelah Tax Amnesty).
Yang juga patut disorot adalah rasio NPL Bank Pundi Indonesia sebesar 6,63 persen dan CAR hanya 8,01 persen. Rasio ini sudah mendekati batas CAR minimal 8 persen yang ditentukan oleh regulator. Jadi, selain persoalan kredit bermasalah, Bank Pundi juga terancam kekurangan modal.