Prosedur Dipermudah, UMKM Tetap Malas Ikut Tax Amnesty

Cahyo | Biro Pers Sekretariat Kepresidenan
Presiden Joko Widodo meninjau langsung pelayanan tax amnesty di KPP Grogol Petamburan, Jakarta, Rabu (28/9).
5/10/2016, 19.23 WIB

Setelah sibuk menggaet para pengusaha kakap pada periode pertama program pengampunan pajak (tax amnesty), kini Direktorat Jenderal Pajak mulai gencar menggaet pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Direktur Jenderal Pajak bahkan menerbitkan peraturan khusus untuk mendorong UMKM mengikuti program tersebut.   

Peraturan yang dimaksud yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor 17/PJ/2016. Peraturan ini memuat petunjuk teknis yang intinya memberikan kemudahan administratif bagi peserta tax amnesty dari kalangan UMKM. Kemudahan itu mulai dari kesempatan menitipkan Surat Pernyataan Harta (SPH) kepada asosiasi usaha tempatnya bernaung, hingga penyederhanaan formulir isian.

Meski mendapat kemudahan, banyak pelaku UMKM yang tidak lantas berminat mengikuti program tersebut. Hal tersebut terungkap dalam acara sosialisasi perdana tax amnesty kepada UMKM di Tangerang Selatan, Banten, Rabu (5/10).

Seorang pedagang bernama Iin, mengajukan permintaan tambahan jika pemerintah ingin pelaku usaha mengikuti pengampunan pajak dan membayar tebusan. Ia menuntut pemerintah memperbaiki fasilitas penunjang bisnis UMKM di pasar-pasar. "Misal kalau kami bayar (tebusan), maka kami minta tolong listrik, air di pasar dipastikan lancar," katanya.

Iin berharap, negara hadir dan mendukung UMKM dalam menopang perekonomian negara. Jadi, bukan sekadar mengumpulkan pajaknya saja. (Baca juga: Pasca Ikut Tax Amnesty, Pengusaha Tuntut Pemerintah Tak Korupsi)

Tuntutan pelaku usaha UMKM seperti yang disampaikan Iin sudah diprediksi oleh pengamat pajak dari Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo. Menurutnya, pemerintah perlu menyusun strategi agar UMKM tidak menganggap pajak sebagai beban. Caranya, UMKM harus diintegrasikan dulu ke ekonomi formal agar mendapatkan insentif bisnis. Setelah tumbuh, baru UMKM bersedia membayar pajak.

“Pemerintah harus mulai dengan insentif tentang apa yang bisa diberikan ke mereka (UMKM), sehingga trade off-nya mereka nanti bayar pajak,” kata Prastowo, akhir September lalu.

Padahal, dia menilai ada potensi besar penerimaan pajak dari UMKM. Hitungannya, porsi ekonomi informal Indonesia sekitar 18-20 persen terhadap Produk Domestik Bruto atau sekitar Rp 2.000 triliun sampai Rp 2.500 triliun. (Baca juga: Berkat Tax Amnesty, Penerimaan Pajak September Naik 15 Persen)

Di luar tuntutan pelaku usaha seperti disampaikan Iin, Forum Komunikasi Pengusaha Kecil dan Menengah Indonesia (FKPKMI) yang juga menghadiri acara sosialisasi di Tangerang Selatan tersebut mengapresiasi kemudahan-kemudahan yang diatur dalam Perdirjen yang baru. Ketua FKPKMI Arwan Simanjuntak meminta kemudahan-kemudahan seperti itu terus berlanjut.

Secara rinci, ada beberapa prosedur pengampunan pajak yang dipermudah khusus untuk UMKM. Pertama, wajib pajak UMKM dapat menitipkan Surat Penyertaan Harta (SPH) kepada asosiasi terkait tempatnya bernaung, bila tergabung dalam asosiasi usaha. Dengan begitu, pelaku usaha bisa menghemat waktu karena tak perlu hadir langsung untuk mengurus administrasi.

"Jadi wajib pajak memberikan surat kuasa ke asosiasi. Lalu asosiasi menyampaikan secara kolektif ke kantor pusat Ditjen Pajak aatau Kantor Wilayah (Kanwil) pajak," kata Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Hantriono Joko Susilo.

Penitipan paling lambat hingga tanggal 31 Januari 2017. Hal ini lantaran para pegawai pajak membutuhkan waktu paling tidak 20 hari untuk meneliti seluruh laporan SPH.

Kedua, Ditjen Pajak juga memberi kemudahan berupa penyederhanaan formulir isisan. "Pengisian form untuk yang UMKM hanya kolom 1 sampai dengan 5. Jadi hanya nomor, kode harta, jenis harta, tahun perolehan, serta harga perolehan," ujar Hantriono.

Ketiga, Wajib pajak UMKM juga diperbolehkan hanya menyertakan SPH dan lampirannya dalam bentuk hard copy atau tulisan tangan. Namun, hal tersebut hanya berlaku bagi penyerahan 10 item harta ataupun utang, lewat dari angka tersebut maka wajib pajak harus menyertakan bentuk soft copy-nya. Mengomentari hal itu, Arwan Simanjuntak meminta kelonggaran. "Kalau bisa jangan dulu ada berupa soft copy, karena ada satu UMKM tetangga saya dia bahkan tidak mengerti apa itu flash disc," katanya.

Dengan beberapa kemudahan tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama berharap semakin banyak pelaku usaha UMKM yang mengikuti pengampunan pajak sekaligus masuk dalam sistem perpajakan di Tanah Air. Yoga mengatakan basis UMKM mencapai puluhan juta. Tapi, baru 66 ribu UMKM yang tercatat mengikuti program tax amnesty. "Jadi bagaimana UMKM ini masuk dalam sistem perpajakan kita," kata Yoga.

Sebagai informasi, hingga berakhirnya periode pertama dan memasuki hari kelima periode kedua tax amnesty, total tebusan program ini telah mencapai Rp 90,5 triliun. Jika ditambah dengan pembayaran penghentian pemeriksaan bukti permulaan dan tunggakan, jumlahnya mencapai Rp 97,3 triliun. Adapun Pemerintah mengejar target dana tebusan tax amnesty sebesar Rp 165 triliun untuk tahun anggaran 2016. (Baca juga: Menkeu: Rasio Tebusan Tax Amnesty RI Terbesar di Dunia)

Sejauh ini, dana tebusan yang berasal dari wajib pajak badan UMKM baru sebesar Rp 186,93 miliar, sedangkan dari wajib pajak orang pribadi UMKM jumlahnya sudah mencapai Rp 2,77 triliun.

Sekedar informasi, dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, UMKM atau badan usaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar merupakan satu-satunya wajib pajak yang mendapatkan keistimewaan tarif tebusan rendah hingga akhir program. Tarif tebusan terendah diperoleh UMKM yang memiliki harta di bawah Rp 10 miliar. Tarif tebusan hanya 0,5 persen. Sedangkan untuk UMKM yang memiliki harta di atas Rp 10 miliar terkena tarif tebusan 2 persen.