Jawab Keraguan, Kemenkeu Sempurnakan 3 Aturan Soal Repatriasi

Arief Kamaludin | Katadata
22/9/2016, 11.35 WIB

Pemerintah Longgarkan Aturan Repatriasi dalam Pengampunan Pajak

Kementerian Keuangan kembali menyempurnakan aturan mengenai kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Penyempurnaan ini dianggap bisa mempermudah peserta tax amnesty yang akan mengalihkan dananya di luar negeri ke dalam negeri (repatriasi).

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengakui wajib pajak masih merasa kebingungan mengenai aturan repatriasi. Makanya perlu ada penyesuaian dari aturan-aturan tersebut, sehingga dapat menjawab keraguan dari para wajib pajak yang akan melakukan repatriasi.

Penyempurnaan ini dilakukan terhadap tiga aturan yang sudah ada, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 119 tahun 2016, PMK 122/2016, dan PMK 123/2016. "Kami melakukan beberapa update peraturan atau regulasi yang telah ada dan terkait UU Pengampunan Pajak. Ada 6 poin yang kami sempurnakan," katanya di kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Rabu (21/9).

Pertama, terkait bentuk asset yang bisa direpatriasi. Sebelumnya dijelaskan bahwa harta yang direpatriasi harus berbentuk uang tunai. Dengan aturan yang baru ini, aset berbentuk surat utang (obligasi atau sukuk) pun bisa direpatriasi. (Baca: Ikut Tax Amnesty, Hendropriyono Ungkap Harta Tanpa Repatriasi)

Surat utang yang bisa direpatriasi adalah surat utang internasional yang diterbitkan pemerintah atau perusahaan dalam negeri, yang dibeli melalui bank kustodian di luar negeri. Caranya dengan memindahkan obligasi ini ke bank kustodian dalam negeri.

Kedua, terkait harta yang telah direpatriasi sepanjang Januari hingga Juli 2016 (sebelum UU Pengampunan Pajak terbit). Dalam aturan sebelumnya harta ini dianggap sebagai harta yang berada di luar negeri. Artinya jika ikut tax amnesty, mendapat tarif deklarasi luar negeri. Dengan aturan yang baru, harta ini bisa diperlakukan sebagai dana repatriasi dan pengelolaannya wajib melalui bank persepsi (gateway).

Ketiga, mengenai teknis repatriasi. Dalam aturan sebelumnya tidak diatur apakah repatriasi bisa dilakukan secara bertahap atau tidak. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan diterbitkan akan mengatur proses repatriasi bisa dilakukan secara bertahap. Syaratnya jangka waktu investasi ini dilakukan paling sedikit tiga tahun, setelah dana repatriasi disetor seluruhnya ke rekening khusus.

Keempat, terkait investasi dana yang direpatriasi di luar pasar keuangan. Investasi untuk sektor riil bisa dilakukan pada proyek prioritas yang ditentukan pemerintah atau investasi langsung pada perusahaan di dalam negeri. (Baca: Didominasi Harta Dalam Negeri, Tax Amnesty Tembus Rp 1.000 Triliun)

Pada aturan sebelumnya hanya mengatur investasi dilakukan melalui penyertaan modal ke dalam perusahaan, sedangkan penggunaan dananya tidak diatur. Dalam aturan yang baru akan diatur investasi tersebut harus dilakukan pada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Penggunaan dananya dilakukan sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Kelima, terkait investasi dana repatriasi yang bisa dijadikan sebagai jaminan kredit melalui bank persepsi (gateway). Dalam PMK yang baru, akan ditambahkan ketentuan mengenai gagal bayar (default). Jika wajib pajak ini gagal bayar, maka investasi yang digunakan sebagai jaminan kredit, dapat langsung dicairkan oleh bank persepsi.

Keenam, terkait penarikan keuntungan investasi dari dana repatriasi. Keuntungan atas investasi dapat ditarik, setelah memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan. Dalam aturan sekarang, keuntungan ini dapat ditarik setiap tiga bulan pertama pada tahun berikutnya. Sementara pada PMK yang akan diterbitkan, wajib pajak bisa menarik keuntungan tersebut sewaktu-waktu.

"Ini belum keluar PMK-nya. Saya mengatakan rencana penyempurnaannya, mudah-mudahan bisa mengklarifikasi beberapa keraguan para WP semoga bisa dimanfaatkan," kata Robert. (Baca: Sri Mulyani: Hubungi Saya Jika Ada yang Halangi Ikut Tax Amnesty)