Otoritas di Singapura dianggap telah menghambat kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia lantaran memeriksa para wajib pajak yang mengikuti program tersebut. Namun, pemerintah Singapura menyatakan, pemeriksaan itu hanya terkait pada transaksi keuangan yang mencurigakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pemeriksaan oleh aparat kepolisian Singapura itu akan mengganggu para wajib mengikuti amnesti pajak, terutama yang berdomisili atau yang menempatkan uangnya di negara jiran tersebut. Karena itu, dia mengaku telah meminta klarifikasi langsung dari pemerintah Singapura perihal persoalan tersebut.
“Saya cek langsung ke Deputy Prime Minister (Wakil Perdana Menteri) Singapura (Kamis) sore ini,” katanya dalam pesan tertulis melalui media sosial, Kamis malam (15/9).
Menurut Sri Mulyani, pemerintah Singapura menjelaskan bank sentralnya (Monetary Authority of Singapore/MAS) mengimbau seluruh perbankan di negara itu untuk mendukung para nasabahnya menggunakan kesempatan mengikuti program pengampunan pajak di Indonesia. Sebab, kebijakan itu untuk memperbaiki pengelolaan pajak di Indonesia.
Namun, perbankan di Singapura tetap harus mematuhi standar dari Financial Action Task Force (FATF) dengan melaporkan transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) ketika menangani nasabah yang ingin mengikuti amnesti pajak. Kebijakan ini pun dilakukan oleh setiap negara yang tergabung dalam FATF.
Sebagai informasi, FATF adalah lembaga dunia yang melakukan evaluasi rutin terhadap standar-standar anti pencucian uang yang dipakai oleh negara-negara anggotanya. (Baca juga: "Diserang" Pejabat Indonesia, Singapura Bantah Jegal Tax Amnesty)
Kendati demikian, MAS menekankan bahwa keikutsertaan warga negara Indonesia (WNI) dalam pengampunan pajak tidak bisa dianggap sebagai suatu tindakan yang bisa menarik atau memicu investigasi kriminal. Karenanya, MAS mengatakan bahwa semestinya standar FATF tidak menghalangi WNI yang menjadi nasabah di perbankan Singapura—untuk mengikuti amnesti pajak.
Proses penyelidikan oleh otoritas Singapura hanya dilakukan ketika ada laporan kegiatan keuangan yang mencurigakan. “Ekspektasi terkait transaksi yang mencurigakan, tidak seharusnya mencegah klien berpartisipasi mengikuti pengampunan pajak. Karena sebuah penyelidikan oleh polisi di Singapura dilakukan hanya ketika ada alasan untuk mencurigai adanya pelanggaran pidana, menurut hukum yang telah kami sepakati,” ujar Juru Bicara Singapura.
(Baca juga: Mayoritas WNI di Singapura Tak Bawa Pulang Dana ke Indonesia)
Dalam konferensi pers di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis malam (15/9), Sri Mulyani menegaskan, penjelasan dari otoritas Singapura itu diharapkan tidak lagi menghambat WNI untuk mengikuti tax amnesty. Apalagi saat ini merupakan waktu untuk membayar tarif tebusan termurah.
Seperti diketahui, WNI di Singapura menyumbang amnesti pajak sebesar Rp 5,9 triliun dari total keseluruhan negara Rp 7,1 triliun per 20 Agustus lalu. Sayangnya, hanya Rp 1,1 triliun yang dibawa pulang ke Tanah Air (repatriasi).
(Baca juga: Bank di Singapura Rayu WNI Agar Tak Repatriasi)
Pada masa awal program amnesti pajak, pertengahan Juli lalu, sempat beredar kabar bahwa perbankan di Singapura menawarkan kepada nasabah asal Indonesia agar tidak merepariasi hartanya. Sebagai imbalannya, perbankan di Singapura akan mengganti dua persen selisih yang harus dibayarkan nasabah karena hanya mendeklarasikan hartanya. Sekadar informasi, tarif tebusan untuk repatrasi sebesar dua persen, dan empat persen bagi yang mendeklarasikan hartanya pada tahap pertama ini.
Hal tersebut sempat memancing reaksi keras dari pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kala itu memperingatkan praktik-praktik Singapura yang dapat menghambat kebijakan amnesti pajak. Belakangan, pemerintah Singapura membantah kabar tersebut dan menyatakan dukungannya terhadap kebijakan amnesti pajak di Indonesia.