KATADATA - Kontroversi pinjaman senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 40 triliun dari Cina kepada tiga bank BUMN pada medio 2015, kembali menuai kontroversi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan penyaluran utang jumbo tersebut, lantaran lebih banyak mengalir ke perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang manufaktur ketimbang untuk proyek-proyek infrastruktur.
Setelah meneken perjanjian pinjaman senilai US$ 3 miliar dari China Development Bank (CDB) yang diprakarsai oleh Menteri Negara BUMN Rini Soemarno pada Juni 2015, manajemen tiga bank BUMN mengaku saat ini telah menyalurkan semua pinjaman tersebut. “Kami dapat (pinjaman) US$ 1 miliar dengan skema business to business. Hari ini, semuanya sudah disalurkan dan menghasilkan interest (bunga) yang sangat menguntungkan bagi BRI,” kata Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Asmawi Syam dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, yang berlangsung dua hari hingga Selasa sore (15/3). Rapat ini juga dihadiri manajemen Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI).
Asmawi menjelaskan, BRI telah menyalurkan seluruh pinjaman itu. Rinciannya: 62 persen untuk proyek pembangkit listrik, 25 persen untuk proyek jalan tol, dan 13 persen bagi sektor agribisnis.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Bank Mandiri menggaet utang dari Cina untuk menutup pembiayaan bagi proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Jumlah kebutuhan dana untuk proyek infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar Rp 5.500 triliun, sementara likuiditas perbankan yang tersisa Cuma sekitar Rp 500 triliun.
(Baca: Ini Alasan Tiga Bank BUMN Pinjam Dana dari Cina)
Di sisi lain, rata-rata dana simpanan di Bank Mandiri yang di atas 1 tahun cuma 8 persen. Padahal, lebih 50 persen dari total kredit yang disalurkan Bank Mandiri berjangka di atas satu tahun. “Ini berisiko kalau dana (simpanan) itu tiba-tiba ditarik. Makanya kami pinjam ke CDB,” kata Budi.
Namun, beberapa anggota DPR mempersoalkan penyaluran pinjaman dari Cina itu yang lebih banyak mengalir ke sektor manufaktur ketimbang infrastruktur. “Pinjaman ini untuk infrastruktur tapi saya ragu. Perusahaan yang menerima saja manufaktur,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji. Mengacu kepada data yang disampaikan tiga bank BUMN itu, dia menyitir penyaluran pinjaman tersebut kepada perusahaan perkebunan gula dan PT Krakatau Steel Tbk. “Padahal kinerjanya (Krakatau) tidak baik-baik amat dan sedang rugi.”
Ketua Komisi XI Ahmadi Noor Supit juga menyoroti pinjaman dari bank asal Cina tersebut yang terkonsentrasi pada beberapa perusahaan saja. "Kalau kami lihat nama-nama debiturnya, orangnya itu-itu juga. Ini jadi aneh," katanya.
(Baca: Pembengkakan Kredit Bermasalah Menggerus Laba Bank BUMN)
Eva Sundari juga menyayangkan kecilnya porsi pinjaman untuk proyek infrastruktur. “Bagaimana bisa pinjaman ini seolah-olah untuk infrastruktur, tapi ternyata lebih banyak untuk perdagangan. Mengapa PT Indah Kiat Tbk sampat dapat Rp 1,06 triliun,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-Perjuangan.
(Baca: Cina Beri Utang Rp 40 Triliun untuk Tiga Bank BUMN)
Berdasarkan data alokasi penyaluran kredit ketiga bank BUMN tersebut yang dimiliki Katadata, hanya sekitar sepertiga dari total pinjaman US$ 3 miliar yang dikucurkan untuk proyek infrastruktur. Sedangkan mayoritas pinjaman itu dialirkan ke perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan perdagangan. Sebagai gambaran, BRI menyalurkan pinjaman US$ 319,93 juta atau 31,9 persen dari total pinjaman yang diterimanya kepada perusahaan-perusahaan infrastruktur. Sedangkan Bank Mandiri hanya mengucurkan US$ 140,87 juta ke sektor infrastruktur. Adapun BNI menyalurkan lebih dari separuh pinjaman itu untuk infrastruktur.
Namun, Asmawi menegaskan perjanjian pinjaman bank BUMN dengan CDB tidak mengatur peruntukannya untuk proyek infrastruktur. “Infrastruktur atau bukan, itu tidak penting. Yang penting bagi CDB, kami tidak nunggak,” katanya.