KATADATA ? Bank Indonesia (BI) menurunkan target pertumbuhan kredit perbankan menjadi 11 persen-13 persen pada tahun ini. Sebelumnya, bank sentral menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 15 persen-17 persen, yang kemudian direvisi menjadi 13 persen-15 persen.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan, target pertumbuhan kredit diturunkan sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi selama semester I-2015. Situasi ini membuat kegiatan usaha berkurang yang menyebabkan permintaan kredit pun menurun.
Apalagi dari sisi fiskal, belanja pemerintah pun menunjukkan peningkatan, sehingga belum dapat memberikan stimulus bagi kegiatan ekonomi. Lagi pula, BI pun berupaya agar sektor perbakan tetap stabil di tengah cenderung naiknya rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan.
?Tidak apa-apa memang (target kredit) sedikit turun kalau memang kondisinya begini (perlambatan ekonomi). Tapi tetap dari sisi sitem keuangan (BI berupaya) akan tetap stabil,? kata dia di kantornya, Jakarta, Jumat (7/8). (Baca: Kredit Bermasalah Naik, Laba BRI Tertekan)
Meski begitu, Erwin menampik tingginya tingkat suku bunga sebagai penyebab seretnya pertumbuhan kredit. ?Persoalannya ada di permintaan (kredit),? tutur dia.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam laporannya per Juli lalu menyebutkan, tekanan terhadap kinerja perbankan bukan hanya berasal dari melambatnya pertumbuhan kredit, tapi juga dari potensi kenaikan NPL. Menurut analis perbankan dari LPS Seno Agung Kuncoro, data pertumbuhan kredit bermasalah, baik secara nominal maupun rasio menunjukkan tren peningkatan dalam setahun terakhir.
Secara nominal, NPL naik dari 12,2 persen (yoy) pada April 2014 menjadi 33,8 persen pada April 2015. Rasio NPL gross juga meningkat dari 2,05 persen pada April 2014 menjadi sebesar 2,48 persen pada April 2015.
Kenaikan NPL tersebut terjadi akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan depresiasi nilai tukar yang mempengaruhi kinerja perusahaan (debitur). Ancaman NPL lebih besar dari para pelaku industri manufaktur dan perdagangan yang melakukan transaksi impor namun pendapatannya dalam mata uang rupiah. ?Ketidaksesuaian (mismatch) ini membebani perusahaan ketika terjadi pelemahan nilai tukar,? katanya. (Baca: Antisipasi Kredit Bermasalah, Dua Bank BUMN Naikkan Pencadangan)
Hal tersebut didukung kenaikan NPL untuk jenis kredit modal kerja dan investasi, sementara NPL kredit konsumsi berpotensi meningkat. Karena itu, dia meramal potensi peningkatan kredit bermasalah mencapai puncak pada kuartal VI-2015 menjadi 2,5 persen hingga 2,7 persen.
Pertumbuhan tertinggi dari sisi kolektibilitas nominal kredit terjadi pada kategori ?diragukan? (doubtful) yang tumbuh 43 persen (yoy) pada April 2015 sebesar Rp16,9 triliun. Kemudian disusul dengan kategori ?macet? (lost) yang tumbuh 37 persen (yoy). ?Peningkatan pada kredit bermasalah tentunya akan meningkatkan cadangan potensi kerugian sehingga profitabilitas perbankan semakin tergerus,? kata Seno. (Baca: Ekonomi Melambat, Perbankan Revisi Target Kredit)