Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kini berwenang menyuntikkan dana ke bank yang masuk kategori dalam pengawasan intensif (BDPI) dan dalam pengawasan khusus BDPK. Kewenangan ini termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020.
Penambawah kewenangan, seperti termaktub dalam beleid, adalah dalam rangka menangani masalah stabilitas sistem keuangan akibat covid-19. Begitupun untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan gangguan stabilitas sistem keuangan yang mencakup permasalahan bank.
Beleid ini juga menyatakan, tujuan penyaluran dana pada Bank dari LPS berbeda dengan penyaluran dana dari pemerintah. Penyaluran dana oleh pemerintah adalah untuk mengeskalasi kredit. Sementara penempatan dana LPS adalah agar bak yang tergolong BPDI dan BPDK tidak gagal bayar. Meskipun begitu, LPS tidak akan membeberkan nama-nama bank yang bakal menerima penempatan dana.
(Baca: Jaga Likuiditas Bank, LPS Pangkas Bunga Penjaminan Simpanan 0,25%)
Total penempatan dana oleh LPS pada seluruh bank adalah paling banyak 30% dari jumlah kekayaan bank. Setiap bank paling banyak mendapat 2,5% dari jumlah kekayaan LPS. Sementara itu, periode penempatan dana paling lama sebulan serta paling banyak lima kali. Seluruhnya tertuang dalam Pasal 11 ayat (3).
Sementara skema penempatan dana termuat dalam Pasal 11 ayat (4) yang menyatakan, bank dapat mengajukan permintaan penempatan dana kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya OJK akan menganalisis kelayakan pengajuan dana tersebut. OJK pun wajib menyurati Bank Indonesia (BI) untuk agar melakukan pengujian terhadap kondisi terkini bank yang mengajukan penempatan dana. LPS lalu memutuskan kelayakan bank tersebut mendapat penempatan dana.
Ada Syarat Agunan
Bank yang mendapat penempatan dana pun wajib menyerahkan jaminan. Bentuknya, berupa aset bank, aset pemegang saham pengendali, atau pengalihan saham kepada LPS. Skenario ini disiapkan bila nantinya bank tidak mampu membayar dana bantuan LPS.
“Sebagaimana lazimnya penempatan dana, tentu kami meminta adanya agunan. Agunan ini sebagai langkah mitigasi risiko bagi LPS," kata Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (10/7).
(Baca: LPS Jamin Dana Pemerintah Rp 30 T, Bank BUMN Wajib Bayar Premi)
Alamsyah menyatakan, bank bisa menyerahkan jaminan dalam beberapa bentuk seperti aset milik pemegang saham pengendali atau aset milik bank tersebut. Jaminan juga dapat berbentuk pernyataan pengalihan ha katas kepemilikan saham dari pemilik bank.
“Tentu bank bisa memberikan jaminan piutang kredit, tapi ada kriterianya. Sudah pasti kredit harus lancar. Kemudian kalau lancar, kami akan meneliti profil risiko dari kredit itu untuk menentukan diskonnya berapa,” katanya.
Peraturan baru ini juga memberi lampu hijau kepada LPS untuk mencari sumber dana lain bila mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank. Jika skenario memburuk, LPS dapat mengajukan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Sentral untuk mengakali sumber pendanaan bantuan kepada bank yang terancam gagal bayar.
(Baca: LPS Bantah Ada 8 Bank Berpotensi Gagal, Indikator Masih Normal)
Akan tetapi, Alamsyah menyatakan saat ini LPS belum membutuhkan likuiditas tambahan hingga perlu menerbitkan surat utang. Menurutnya, LPS saat ini mencatatkan total aset mencapai Rp 128 triliun yang dinilai cukup untuk melaksanakan penempatan dana di bank bermasalah.
Total dana tersebut kemungkinan tak akan meningkat signifikan. Hal ini karena LPS memberikan keringanan kepada bank untuk tidak segera membayarkan preminya di semester II 2020.
Masalah Perbankan Hantui Asia Tenggara
Pandemi virus corona memang telah berimbas kepada perbankan. Hal ini terlihat dari catatan OJK bahwa penyaluran kredit perbankan turun sejak Maret 2020. Pada bulan ini perbankan menyalurkan kredit sebanyak Rp 5.712,04 triliun. Angka ini menurun sebesar 1,8% pada bulan selanjutnya menjadi Rp 5.609,04 triliun. Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross perbankan pada semester I 2020 pun telah melewati ambang batas 3%, yakni sebesar 3,01%.
Selain Indonesia, risiko bank gagal bayar juga menghantui berbagai negara. Laporan lembaga pemeringkat kredit, Fitch Ratings menyebut Covid-19 membuat penurunan profitabilitas yang akibat perlambatan penyaluran kredit.
(Baca: LPS Pantau Sistem Kondisi Keuangan RI Saat Ini Berstatus Waspada)
Beberapa negara yang mengalami permasalahan perbankan adalah Singapura dan Thailand. Perbankan di Singapura mengalami kesulitan lantaran menyalurkan 24% kreditnya ke Tiongkok. Sementara pada kuartal I tahun ini pertumbuhan ekonomi negeri Tirai Bambu terkontraksi 6,8% dan membuat penyerapan dana kredit perbankan Singapura terhambat.
Permasalahan perbankan Thailand disebabkan menurunnya industri pariwisata akibat pembatasan perjalanan. Padahal 33% portofolio bank di negara ini berasal dari sektor pariwisata.
“Bagaimanapun, bank Singapura dan Thailand masih memiliki cukup capital buffer (selisih rasio modal bank terhadap rasio kecukupan modal minimum sesuai peraturan bank sentral) untuk menahan tekanan ini, meskipun dampaknya akan tergantung pada tingkat dan durasi wabah,” tulis Fitch ratings.
Penulis: Muhammad Arfan Septiawan (Magang)