Ekonomi Kuartal 2 Terkontraksi 5,32%, Kondisi Bank Dinilai Masih Sehat

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11/2019). Pertumbuhan ekonomi Indoneia kuartal II terkontraksi, namun dalam situasi ini kondisi perbankan masih dalam cukup sehat.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Ekarina
5/8/2020, 18.59 WIB

Pandemi corona telah membatasi aliran manusia, barang, dan uang. Alhasil,  aktivitas ekonomi terhambat dan membuat laju pertumbuhan ekonomi melambat.

Badan Pusat Statistis (BPS) mencatat, pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi atau negatif 5,32% secara tahunan. Angka ini bahkan lebih buruk dibandingkan perkiraan pemerintah yang negatif 4,32%.

Pelemahan perekonomian kerap dikaitkan dengan kondisi perbankan Tanah Air. Hal ini dalam beberapa kasus menimbulkan kekhawatiran masyarakat menyimpan uang di bank.

Meski demikian, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kondisi perbankan nasional masih stabil dan sehat. Kendati terjadi penurunan kinerja di beberapa bank, berbagai indikator menunjukkan, secara keseluruhan kondisi perbankan di dalam negeri masih tergolong baik.

"Beberapa bank bahkan masih mencatatkan kenaikan keuntungan selama semester I 2020," kata Piter dalam keterangan resminya, Rabu (5/8).

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, indikator di industri perbankan, seperti rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio(CAR) periode Juni 2020 masih berada di level 22,59%. Angka ini meningkat dibanding bulan sebelumnya di level 22,14%.

Begitu juga dengan tingkat likuiditas perbankan yang melonggar selama pandemi Covid-19. Rasio kredit terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) berada di level 88,64% pada Juni 2020, melonggar dari posisi bulan sebelumnya di level 90,42%.

Pelonggaran likuiditas tersebut terlihat karena adanya perlambatan kredit, namun bila dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan meningkat. Hingga Juni 2020,  pertumbuhan kredit hanya mencapai 1,49% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 9,92%. Sedangkan DPK tumbuh 7,95% pada semester I 2020 dibandingkan periode sama tahun lalu.

Meski di sisi lain diakui, kualitas penyaluran kredit tercatat memburuk. Kredit seret atau non-performing loan (NPL) industri perbankan tercatat berada di level 3,11% per Juni 2020, sedikit meningkat dibanding Mei 2020 berada di level 3,01%.

"Memang NPL mengalami kenaikan, tetapi masih dalam batas aman atau berada di bawah batas psikologi 5%," kata Piter.

Berdasarkan data yang ada, Piter pun menilai perbankan dalam negeri tak sepenuhnya mengalami permasalahan likuiditas. Kendati ada beberapa yang mengalami persoalan tersebut, tetapi masih dalam tingkat  yang bisa dikelola oleh otoritas keuangan. 

Contohnya, masalah likuiditas yang sempat dialami oleh PT Bank Bukopin Tbk, yang mana banyak nasabah yang tidak mengambil simpanannya. Tapi, menurut Piter, masalah tersebut sudah bisa diselesaikan lewat strategi manajemen menambah modal dengan  hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.

Bukopin bahkan siap kembali menggelar aksi korporasi lagi melalui penambahan modal tanpa HMETD (private placement). Adapun investor yang bakal menambah porsi kepemilikannya di Bukopin merupakan bank asal Korea Selatan KB Kookmin Bank. Sehingga, porsi kepemilikan investor tersebut bakal mencapai 67%.

"Masuknya Kookmin Bank di tengah isu permasalahan Bukopin, membuktikan bahwa permasalahan ini tidaklah mengkhawatirkan. Bukopin memiliki prospek yang sangat baik," katanya.

Dengan kondisi perbankan yang masih terjaga di tengah pandemi corona, dia pun meminta masyarakat tak mudah percaya dengan berbagai berita bohong atau hoax. Sebab, dalam situasi saat ini kerap kali muncul pesan berantai yang mengajak masyarakat untuk menarik dana di perbankan.

Oleh karena itu, dia memastikan informasi dan ajakan tersebut salah dan harus dilawan. Pasalnya, pesan tersebut berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan maupun perekonomian nasional.

Resesi Ekonomi 

Terkait kontraksi perekonomian di triwulan II, dia menyebut masyarakat tak perlu panik. Sebab, dengan pandemi corona yang menyebar luas secara global, telah menganggu aktivitas ekonomi seluruh negara seperti kegiatan konsumsi, investasi, dan juga ekspor-impor dan mengalami penurunan yang sangat tajam.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi dipastikan negatif dan resesi kemudian menjadi sebuah kenormalan baru yang berpotensi dialami semua negara. 

"Tinggal menunggu waktunya saja negara untuk menyatakan secara resmi sudah mengalami resesi," ujar dia.

Perbedaannya, hanya masalah kedalaman dan kecepatan pemulihan atau  recovery. Negara-negara yang bergantung kepada ekspor  atau kontribusi ekspornya sangat tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, akan mengalami double hit. Sehingga kontraksi ekonomi akan jauh lebih dalam. 

Resesi teknis secara umum didefinisikan sebagai kondisi dimana negara mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut--turut  yang dilihat secara tahunan.

Menghadapi situasi ini, dia pun menjelaskan yang terpenting adalah bagaimana dunia usaha mampu bertahan di tengah resesi dan tidak sampai mengalami kebangkrutan. Sebab, dengan adanya daya tahan ini, Indonesia bisa bangkit lebih cepat ketika wabah sudah berlalu.

"Kita optimis dengan berbagai kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) bisa meningkatkan daya tahan dunia usaha dan kita akan recovery pada 2021," katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan pemerintah akan berupaya agar perekonomian pada kuartal III tumbuh 0% atau positif sehingga Indonesia terhindar dari resesi teknis.

Pemerintah memproyeksi ekonomi sepanjang tahun ini tumbuh pada kisaran minus 0,4% hingga 1%. Sri Mulyani sebelumnya juga menyebut Indonesia secara teknis belum memasuki resesi ekonomi meski ekonomi pada kuartal II negarif secara tahunan.

"Secara teknis kalau dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif, itu berarti suatu negara atau ekonomi mengalami resesi. Kita kuartal I masih tumbuh, kuartal II mungkin negatif, tetapi Kuartal III harapkan mendekati 0% sehingga secara teknis tidak resesi," ujarnya dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (16/6).

Reporter: Ihya Ulum Aldin