Badan Keuangan Tiongkok Larang Penggunaan Uang Kripto

Flickr.com
Ilustrasi Bitcoin. Tiga badan industri keuangan Cina mengumumkan larangan bagi lembaga keuangan dan perusahaan pembayaran untuk menyediakan layanan yang terkait dengan transaksi mata uang kripto.
19/5/2021, 11.40 WIB

Tiga badan industri keuangan Tiongkok melarang lembaga keuangan dan perusahaan pembayaran untuk menyediakan layanan yang terkait dengan transaksi mata uang kripto. Ketiga badan tersebut terdiri dari Asosiasi Keuangan Internet Nasional Cina, Asosiasi Perbankan Cina, dan Asosiasi Pembayaran dan Kliring Cina.

Negeri Tembok Raksasa itu juga memperingatkan investor agar tidak melakukan perdagangan mata uang kripto spekulatif.

Melansir dari Reuters, langkah Cina tersebut sukses menekan pasar perdagangan digital kripto yang sedang bertumbuh. Lembaga keuangan termasuk bank dan perusahaan pembayaran online tidak lagi diperkenankan untuk menawarkan layanan uang kripto.

Dalam hal ini termasuk layanan pendaftaran akun kripto, perdagangan, kliring dan penyelesaian. "Baru-baru ini, harga uang kripto telah meroket dan anjlok, dan perdagangan spekulatif mata uang kripto telah pulih. Secara serius, melanggar keamanan properti orang dan mengganggu tatanan ekonomi dan keuangan normal," demikian pernyataan bersama tiga badan industri tadi, Selasa (18/5). 

Institusi tidak boleh menyediakan layanan tabungan kripto. Begitu juga dengan perusahaan kredit, penjaminan, atau perusahaan yang mengeluarkan produk keuangan yang berkaitan dengan cryptocurrency.

Meskipun Tiongkok telah melarang pertukaran dan penawaran koin kripto, namun, setiap individu masih diperkenankan untuk memegang cryptocurrency.

Sebenarnya, hal itu bukan langkah pertama Beijing melawan pemanfaatan mata uang digital. Pada 2017, Cina menutup bursa mata uang kripto lokalnya, membekap pasar spekulatif yang menyumbang 90% dari perdagangan Bitcoin global.

Berlanjut pada Juni 2019, People's Bank of China atau Bank Sentral Cina menyatakan akan memblokir akses ke semua bursa cryptocurrency domestik dan asing. Pemblokiran juga dilakukan pada situs web berinisial Coin Offering. Tujuannya yakni untuk menekan semua perdagangan cryptocurrency dengan larangan pertukaran mata uang asing.

Di sisi lain, pernyataan Negeri Tirai Bambu turut menyoroti risiko perdagangan cryptocurrency. Mata uang virtual tidak didukung oleh uang bernilai nyata, sehingga harganya mudah dimanipulasi. Selain itu, kontrak perdagangan juga tidak dilindungi oleh hukum China.

Melansir Forbes, nilai cryptocurrency dunia turun sekitar US$ 50 miliar atau 2,5% setelah pengumuman dikeluarkan. Tindakan keras regulasi keuangan China juga sempat memicu koreksi cryptocurrency hamper 80% di 2017.

Banyak perusahaan global yang saat ini mulai memanfaatkan uang kripto sebagai alat transaksi pembayaran mereka. Sebut saja MicroStrategy, Tesla, Square, PayPal dan lainnya. Bahkan, Maret 2021 lalu, Morgan Stanley menjadi bank besar pertama di Amerika Serikat yang memberikan akses cryptocurrency kepada nasabahnya. Langkah serupa disusul Goldman Sachs pada April. Beberapa Lembaga keuangan lainnya seperti JPMorgan juga mengindikasikan akan berpartisipasi di industry uang kripto.

Akhir-akhir ini harga uang kripto khususnya Bitcoin kembali diuji oleh cuitan Elon Musk. Pekan lalu, bos Tesla itu mengumumkan perusahaan mobil listriknya tidak lagi menerima pembelian dengan Bitcoin. Keputusan tersebut jelas menimbulkan kebingungan bagi pemilik mata uang kripto tersebut.

Selanjutnya, harga sempat naik setelah Musk mengkonfirmasi kepemilikan Bitcoin oleh Tesla. Dalam tweet terbarunya, Musk menyatakan, "Tesla belum menjual bitcoin apapun". Klarifikasi tersebut sekaligus menggambarkan kalau bos Tesla itu masih mempertimbangkan kepemilikan aset kripto.

Musk masih menanti perkembangan metode penambangan Bitcoin bisa beralih ke energi ramah lingkungan (EBT). Namun, tidak menutup kemungkinan juga bagi produsen mobil listrik tersebut untuk melirik aset kripto lain yang lebih ramah lingkungan.