Berbagai Sentimen Perkuat Obligasi Indonesia Tetap Dilirik Asing

KATADATA
Ilustrasi pergerakan harga saham dan obligasi
19/5/2021, 16.00 WIB

Pemulihan Amerika Serikat dari dampak pandemi corona yang terbilang cepat dibandingkan sejumlah negara maju lain membuka harapan bisa mendongkrak ekonomi dunia. Tapi ada juga kekhawatiran negara berkembang akan kemungkinan keluarnya modal ke negara adidaya tersebut, seperti lari ke obligasi.

Walau demikian, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Ezra Nazula menilai, stabilnya imbal hasil obligasi AS untuk tenor 10 tahun atau US Treasury menjadikan obligasi Indonesia tetap menarik. Itu tampak dari level valuasi yang masih menarik dan berpotensi dilirik investor asing.

Menurut dia, potensi obligasi pemerintah masih cukup bagus hingga akhir tahun. Sedangkan untuk menaruh dana di obligasi korporasi harus lebih selektif. Ekspektasi pemulihan ekonomi tahun ini menjadi alasan prospek obligasi akan positif.

“Untuk korporasi, kami sarankan untuk memilah-milah yang berkualitas tinggi, highly rated companies dengan fundamental kuat,” kata Ezra kepada Katadata.co.id, Selasa (18/5).

Selain itu, fundamental dari penerbit obligasi korporasi juga perlu menjadi perhatian. Investor bisa melirik obligasi dari sektor yang tidak cyclical atau musiman, serta lebih tahan terhadap pelemahan ekonomi, termasuk kondisi Covid-19 yang berkelanjutan.

Volatilitas US Treasury diprediksi masih berlanjut ke depan. Meskipun begitu, Ezra menilai rentang pergerakannya akan terjaga di 1,5 hingga 1,8 % di 2021. Level saat ini dinilai sudah sesuai harapan (price in), sehingga saat ada data ekonomi AS di bawah ekspektasi, tendensi pergerakan US Treasury cenderung akan turun.

“Kami melihat yield 10 tahun obligasi domestik di 6,5%. Masih menarik mengingat inflasi dan suku bunga kita yang rendah,” ujarnya.

Selain itu, indeks dolar AS ke depan diperkirakan masih mengalami pelemahan. Itu akan memberikan momentum bagi investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Tanah Air. Walaupun, lebih lanjut, yield obligasi domestik 10 tahun berpotensi di bawah 6% dengan setnimen global yang masih mendukung.

Bloomberg mencatat, pada perdagangan Rabu (19/5) pukul 12.20 WIB indeks dolar spot berada di level 89,7 poin. Turunnya indeks dolar AS dikarenakan rilis data inflasi Amerika Serikat pekan lalu yang tercatat naik 4,2% atau lebih tinggi dari perkiraan pasar. Adapun untuk rentang nilai tukar rupiah tahun ini diperkirakan stabil di rentang RP 13.800 per dolar AS hingga Rp 14.500 per dolar AS.

“Untuk (obligasi) kepemilikan asing secara nominal kami perkirakan dapat meningkat seiring pelemahan dolar AS,” jelasnya.

Namun, meskipun kepemilikan asing bakal meningkat, Ezra memperkirakan dari sisi persentase belum akan banyak berubah. Hal itu mengacu pada tingginya permintaan obligasi dari investor lokal sepanjang tahun ini. Di mana, fokus investor asing cenderung masih tertuju ke obligasi pemerintah lantaran faktor likuiditas yang dianggap lebih aman.

"Spread 500 bps (basis poin) membuat obligasi Tanah Air masih menarik untuk investor asing dan domestik. Jangka pendek atau sebulan ke depan yield SUN bisa di 6,2%-6,3%," kata Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana saat dihubungi Katadata.co.id pada Senin (17/5).

Adapun rekomendasi Fikri saat ini adalah obligasi pemerintah, karena risiko gagal bayar yang nyaris tidak ada. Hal tersebut didukung tingkat inflasi Indonesia yang masih terjaga. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi tahun ke tahun (yoy) per April 2021 adalah 1,42%. Level tersebut masih sejalan dengan target inflasi Bank Indonesia (BI) yakni 3% plus minus 1%.

Sementara itu, Ketua Presidium Dewan Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto menghimbau investor untuk mempelajari dan mengkritisi prospektus dan dokumen sebelum membeli produk investasi berbasis surat utang. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi investor yang akan membeli reksadana terproteksi (RDT).

Reksadana terproteksi pada dasarnya hampir sama dengan reksadana pendapatan tetap, yang menempatkan sebagian besar portofolio investasinya pada instrumen surat utang. Perbedaannya terletak pada cara mekanisme pengelolaannya.

Umumnya Manajer Investasi (MI) reksadana terproteksi membeli surat utang dan menahannya hingga jatuh tempo (hold to maturity), sementara reksadana pendapatan tetap mengelolanya secara aktif dan jika diperlukan, bisa melakukan jual beli (trading).

“Meskipun namanya reksadadana terproteksi, bukan berarti bebas risiko.” Kata Hari dalam keterangan resmi Rabu (19/5).

RDT memberikan proteksi nilai investasi awal pada tanggal jatuh tempo yang ditetapkan Manajer Investasi. Nilai proteksi tersebut dicapai melalui mekanisme investasi, dimana minimum 70% aset RDT harus diinvestasikan pada efek utang dengan peringkat layak investasi sehingga dapat menghasilkan nilai proteksi atas pokok pada tanggal jatuh tempo.

Nilai proteksi dicapai melalui mekanisme investasi, maka benefit dan risiko yang melekat pada aset dasar RDT sepenuhnya akan menjadi benefit dan resiko investor RDT. Itu termasuk risiko default atau gagal bayar penerbit efek utang. Kondisi tersebut juga berlaku untuk jenis reksa dana lainnya.

Ketika terjadi penurunan peringkat atau terjadi default atas efek utang aset dasar RDT, maka sebagai bentuk fiduciary duty Manajer Investasi wajib melakukan langkah-langkah terbaik yang diperlukan untuk menjaga keamanan dana investor. Caranya bermacam-macam. Bisa dalam bentuk penggantian portfolio, melakukan negosiasi dengan penerbit efek utang, Press Release melakukan restrukturisasi, dan lain-lain. Langkah yang ditempuh ini wajib dikomunikasikan dengan baik kepada investor RDT.