Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) memastikan proses penagihan utang melalui Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akan terus berlanjut sekalipun sejumlah obligor dan debitur mengajukan gugatan. Sejauh ini, ada beberapa pengemplang BLBI yang menggugat ke pengadilan.
"Adanya gugatan tersebut tidak menghentikan langkah kita mengembalikan hak negara," kata Direktur Hukum dan Humas DJKN Kementerian Keuangan, Tri Wahyuningsih Retno Mulyani, dalam diskusi dengan media secara daring, Jumat (10/6).
Dalam catatan pemerintah, total utang para pengemplang BLBI kepada negara mencapai Rp 110,45 triliun. Sampai dengan akhir Maret lalu, pemerintah sudah menyita sejumlah aset termasuk uang dari para pengemplang yang nilainya mencapai Rp 19,16 triliun.
Namun, selama proses penagihan itu pula, ada beberapa obligor dan debitur yang kemudian melayangkan gugatan kepada pemerintah. Tri mengatakan, gugatannya pun berbeda-beda.
"Masalah yang digugat itu nggak sama, bisa saja gugatan atas penyitaan atau gugatan atas besaran utang," kata Ani.
Seperti contoh, debitur kelas kakap Grup Texmaco melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat di penghujung 2021. Pemilik Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan selaku penggugat dalam keterangannya menyebut gugatan dilayangkan karena nilai utang yang ditetapkan oleh pemerintah dinilai tidak konsisten.
Sinivasan mengakui ada beberapa versi perhitungan soal nilai utang Texmaco terkait BLBI. Jika berdasarkan perhitungan pemerintah, ada sebesar Rp 29 triliun, Rp 38 triliun hingga Rp 93 triliun, sementara ia hanya mengakui utang sebesar Rp 8,1 triliun.
Adapun proses persidangan atas gugatan Sinivasan ini masih berlangsung sampai saat ini. Agenda terdekat, replik online dijadwalkan pada awal pekan depan.
Selain Sinivasan, pemerintah lebih dulu digugat oleh dua petinggi Bank Asia Pacific (Aspac), Hendrawan dan Setiawan Harjono pada Oktober tahun lalu melalui PN Jakarta Pusat. Isi gugatannya yakni keduanya tidak bertanggung jawab atas piutang negara terkait BLBI sebesar Rp 3,57 triliun. Pada akhir April lalu, PN Jakarta Pusat memutuskan memenangkan pemerintah atas gugatan tersebut, dan kini kedua obligor tersebut mengajukan banding.
Terbaru, pemerintah digugat oleh anak obligor Kaharudin Ongko, Irjanto Ongko ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkan pada Selasa (7/6) terkait penyitaan yang dilakukan atas dua asetnya pada Maret lalu.
Untuk diketahui, ayahnya, Kaharudin Ongko berhutang kepada negara lebih dari Rp 8 triliun melalui dua bank yakni Bank Umum Nasional (BUN) dan Bank Arya Panduarta. Sesuai perjanjian tahun 1998, Ongko diwajibkan mengungkap semua asetnya, termasuk yang dimiliki anaknya sebagai jaminan atas utang BLBI.
Namun, belakangan diketahui Ongko tidak mengungkap semua asetnya. Karena itu, Satgas menetapkan aset anaknya, Irjanto sebagai jaminan penyelesaian kewajiban. "Obligor ini harus menanggung kekurangan dari kewajiban terhadap negara, termasuk anak-anaknya sesuai Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA)," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban, Rabu (23/3).
Data Kementerian Keuangan menyebutkan ada sebanyak 20 konglomerat yang masih memiliki kewajiban hak tagih pemerintah terkait pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Total kewajiban para taipan tersebut sebesar Rp 30,43 triliun pada Desember 2020.