Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Paytren Aset Manajemen atau PayTren AM milik Yusuf Mansur. Hal itu karena perusahaan tersebut terbukti melakukan sejumlah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal.
Salah satu poinnya, OJK menemukan fakta tidak adanya kantor dan tidak memiliki pegawai. Selain itu, PayTren Aset Manajemen juga tidak mampu memenuhi ketentuan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD). Padahal, hal ini merupakan hal yang penting untuk memastikan kesehatan dan keberlangsungan operasional perusahaan.
Lalu, apa itu bisnis PayTren Aset Manajemen yang dimiliki Ustaz Yusuf Mansur? Bisnis PayTren bermula dari aplikasi uang elektronik atau electronic money (e-money) yang digunakan untuk mempermudah aktivitas pembayaran online di kalangan para santri di pesantren milik Yusuf Mansur. Sistem pembayaran ini digunakan untuk berbagai transaksi, dari membeli pulsa hingga membayar listrik dan berbelanja.
PayTren dioperasikan oleh PT Veritra Sentosa Internasional. Pengguna PayTren yang dikenal dengan sebutan mitra, terbagi menjadi dua jenis, yaitu mitra pengguna dan bisnis.
Berdasarkan keterangan di situs resmi PayTren, aplikasi tersebut bisa membayar tagihan listrik, tagihan air PDAM, tiket pesawat, voucher game hingga sedekah serta berbagai kebutuhan. Tak hanya itu, PayTren menjadi perusahaan ke-28 dari 50 perusahaan yang dapat izin penerbit uang elektronik dari Bank Indonesia.
Setelah pengguna PayTren semakin banyak, Yusuf Mansur ingin mengembangkan bisnis PayTren ke sektor investasi berbasis prinsip syariah. Pada 24 Oktober 2018, Yusuf Mansur membawa PT Paytren Aset Manajemen (PAM) masuk ke pasar modal syariah Indonesia. Kehadiran PAM sebagai manajer investasi syariah telah sesuai dengan rencana OJK untuk memperluas pasar modal syariah di Indonesia.
Upaya PayTren Menggaet Investor
Pada awal berdiri, PAM menawarkan dua produk reksa dana sekaligus, yaitu PAM Syariah Likuid Dana Safa (RDS SAFA) yang berbasis pasar uang dan PAM Syariah Saham Dana Falah (RDS FALAH). Kala itu, reksa dana berbasis syariah masih kurang diminati investor. Hingga akhir 2017, total dana kelolaan reksa dana syariah secara industri hanya berkisar Rp 28,31 triliun atau setara 6,19% dari total dana kelolaan reksa dana.
Berdasarkan catatan Katadata, jumlah unit yang dikelola Paytren baru 182 unit, dari total 1.595 unit reksa dana. PayTren kemudian menghadirkan pilihan reksa dana baru, yaitu PAM Syariah Campuran Dana Daqu (RDS DAQU) pada 1 Agustus 2018. Fokus produk lebih kepada instrumen saham syariah, sukuk, dan pasar uang syariah.
Meskipun begitu, dana kelolaan reksa dana alias AUM PayTren masih dianggap minim. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan alias OJK melikuidasi dua produk reksa dana PayTren, yaitu RDS FALAH pada 14 Februari 2020 dan RDS DAQU pada 6 Februari 2020. Pasca likuidasi, PAM hanya mengelola satu reksa dana berbasis pasar uang syariah, yaitu RDS SAFA.
Kebijakan likuidasi diambil otoritas berdasarkan POJK Nomor 23 Tahun 2016 tentang Reksa dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa, jika dana kelolaan reksa dana kurang dari Rp 10 miliar dalam kurun waktu 120 hari, maka regulator berhak membubarkan reksa dana tersebut.
Gagal mengelola dana, citra Yusuf Mansur semakin tercoreng dengan gugatan yang dilayangkan dari berbagai pihak kepadanya. Pada Desember 2021 dan Januari 2022, Yusuf kemudian digugat di Pengadilan Negeri Tangerang terkait kasus investasi hotel dan apartemen, dengan nilai gugatan Rp 785 juta.
Adapun gugatan lain terkait dengan investasi batu bara mencapai Rp 97 triliun. Selain itu, Yusuf Mansur sudah mengumumkan akan melepas PayTren dan menjual 100% saham PayTren kepada pihak ketiga. Namun, upaya Yusuf Mansur untuk menjual saham PayTren Aset Manajemen selama tiga tahun tidak membuahkan hasil.