Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menanggapi perihal rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Menurut mereka, hal ini tak mempengaruhi industri asuransi dalam jangka panjang. 

Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon mengatakan kenaikan PPN 12% dapat mempengaruhi industri asuransi dalam jangka pendek. Akan tetapi, dampaknya terhadap industri asuransi jiwa secara langsung tidak terlalu besar.

Namun, apabila PPN tersebut diterapkan secara tepat pada sektor yang sesuai, kata Budi, hal itu bisa mendukung kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

 “Diharapkan masyarakat dalam lima tahun ke depan untuk proteksi membaik juga,” kata Budi kepada wartawan dalam konferensi pers kinerja industri asuransi jiwa Januari–September 2024 di Jakarta, Jumat (29/11).

Sebelumnya, pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 sesuai mandat Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini menuai protes berbagai pihak, sebab dilakukan di tengah daya beli masyarakat yang sedang menurun. 

Berdasarkan laporan Indonesia Economic Outlook 2025 oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), kenaikan PPN menjadi 12% ini memang dapat mendukung kesehatan fiskal Indonesia.

Namun, kebijakan ini juga memiliki kelemahan yang salah satunya menyebabkan inflasi barang dan jasa yang berdampak paling keras terhadap kelompok rentan dan miskin. 

Penghitungan LPEM FEB UI menunjukkan bahwa saat PPN masih pada taraf 10%, porsi pengeluaran masyarakat miskin dan rentan untuk PPN berturut-turut adalah 3,85% dan 4,10%. Ketika PPN dinaikkan menjadi 11%, porsi pengeluaran mereka untuk PPN naik masing-masing menjadi 4,70% dan 4,97%. 

 Kelompok miskin dan rentan mengalami kenaikan pengeluaran untuk PPN di kisaran 0,85% sampai 0,87%. Kenaikan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya.

Sebelum pandemi, porsi pengeluaran kelompok kaya untuk PPN berkisar 6,25%. Porsi ini meningkat 0,61% menjadi 6,86% saat PPN dinaikkan menjadi 11%. Artinya, kenaikan PPN lebih berdampak pada kelompok miskin dan rentan ketimbang kelompok kaya. 

 “Skenario ini (kenaikan PPN 12%) dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan, dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan,” tulis laporan Indonesia Economic Outlook 2025 yang dirilis di situs LPEM FEB UI, Selasa, 5 November.

Namun, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan memberi sinyal bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 bakal diundur. Hal ini karena pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial (bansos) untuk kelas menengah.

"PPN 12% sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," kata Luhut di Jakarta, Rabu (27/11).

Reporter: Nur Hana Putri Nabila