Rentannya Kondisi Perusahaan dari Gugatan Pailit di Masa Pandemi

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
Karyawan mengamati layar pergerakan harga saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
11/8/2020, 20.39 WIB

Maraknya perusahaan publik yang digugat pailit karena kinerjanya menurun imbas pandemi corona. Alhasil, perusahaan tersebut tidak mampu membayar kewajibannya kepada konsumen ataupun kreditur.

Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat menilai banyaknya gugatan pailit yang melilit emiten di bursa lantaran dampak Covid-19. Banyak emiten yang mencatatkan penurunan kinerja hingga merugi. Sehingga tidak mampu membayar kewajibannya kepada kreditur maupun konsumen.

“Kondisi sekarang perusahaan tersebut mengalami kesulitan karena tak memiliki pendapatan. Banyak perusahaan yang kinerjanya menurun. Ditambah kondisi ini tidak bisa dinegosiasikan. Alhasil, konsumen menggugat pailit,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (11/8).

Lebih lanjut, Samsul berharap kondisi yang mengalami perlambatan akibat Covid-19 ini dapat berakhir. Sehingga, emiten-emiten dapat beroperasi kembali seperti semula. Meski begitu, tidak semua emiten dapat kembali pulih dalam waktu dekat.

Emiten berorientasi ekspor, misalnya, masih tetap terdampak. Sebab pandemi corona telah terjadi di lebih dari 200 negara. Akibatnya arus barang perdagangan internasional terhambat. “Ini tidak hanya di Indonesia. Semua emiten yang berorientasi ekspor akan mengalami penurunan pendapatan,” ujarnya.

Sementara itu, Analis CSA Research Institute Reza Priyambada menilai, emiten yang terlilit kasus pailit dengan konsumennya akan memiliki citra negatif di mata investor maupun masyarakat. Serta, menimbulkan kekhawatiran bagi pihak-pihak yang bekerjasama dengan emiten tersebut.

“Sentul City misalnya, perusahaan pemasok bisnis seperti semen, alat bangunan dan mebel akan khawatir, karena takut tak di bayar,” katanya.

Sejauh ini, menurut Reza, emiten yang terlilit kasus pailit lantaran tidak bisa membayar utang konsumen maupun kreditur maupun tak sanggup membiayai operasional perusahaan. Kedua masalah tersebut akan muncul, jika cashflow perusahaan tersendat.

“Jadi dinilai ada kesulitan dalam membayar utang atau membayar untuk operasional. Jadi kenapa perusahaan digugat pailit,’ ujarnya.

Empat Emiten Digugat Pailit

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI) per 10 Agustus 2020, ada empat perusahaan terbuka atau emiten yang digugat pailit. Bahkan salah satu di antaranya sudah ditetapkan pailit oleh pengadilan. Terbaru, perusahaan properti PT Sentul City Tbk (BKSL) digugat pailit oleh konsumennya atas jual beli tanah kavling seharga Rp 30 miliar.

Menurut pengacara dari pihak penggugat, kliennya tidak ingin memperkeruh masalah. Jika lahan tersebut batal dijual, kliennya hanya meminta uang yang telah dibayarkan sebesar Rp 30 miliar dikembalikan. Namun Sentul City tidak mengembalikan uang tersebut dengan alasan aliran kas perusahaan sedang terganggu imbas pandemi.

Tiga emiten lainnya yang juga digugat pailit sehingga mendapatkan notasi khusus 'B', yakni PT Cowell Development Tbk (COWL), PT Global Mediacom Tbk (BMTR), dan PT Golden Plantation Tbk (GOLL). Untuk diketahui, notasi khusus 'B' bermakna emiten memiliki permohonan pernyataan pailit.

Cowell Development digugat pailit oleh Multi Cakra Kencana Abadi pada 17 Juni 2020. Namun pada saat yang sama PT Mega Sukses Bersama juga mengajukan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) terhadap perusahaan berkode emiten COWL ini.

Pada 6 Juli 2020 Mega Sukses Bersama mencabut permohonan PKPU. Namun Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan pailit Multi Cakra Kencana Abadi. “Menyatakan termohon pailit PT Cowell Development Tbk pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis amar putusan PN Jakarta Pusat.

Berdasarkan keterbukaan informasi yang disampaikan manajemen Cowell Development, gugatan pailit Multi Cakra Kencana abadi terkait dengan utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayarkan sebesar Rp 53,4 miliar. Utang tersebut setara 1,93% total utang perusahaan berdasarkan laporan keuangan per 30 Sepetember 2019.

Sebelum gugatan tersebut diputuskan oleh pengadilan, perusahaan menyampaikan, juga melalui keterbukaan informasi, akan melakukan upaya perdamaian. Namun upaya tersebut tidak mendapat respon positif dari penggugat seiring dengan keluarnya putusan pailit dari pengadilan.

Kemudian Golden Plantation mendapat notasi B lantaran tiga entitas anaknya, yakni PT Mitra Jaya Agro Palm, PT Bailangu Capital Investment, dan PT Charindo Palma Oetama, digugat pailit.

Charindo Palma Oetama digugat pailit oleh Bumi Tani Subur dan Nusa Palapa Gemilang; Bailangu Capital digugat oleh Bumi Tani Subur dan Sarana Toolindo Perkasa; sedangkan Mitra Jaya Agro Palm digugat oleh Nusa Palapa Gemilang dan Sarana Toolindo Perkasa. Ketiganya digugat pada tanggal yang sama yakni 17 Mei 2019.

Namun pada 18 Juni 2019, gugatan pailit terhadap Charindo Palma Oetama dicabut, dan sehari kemudian gugatan terhadap Mitra Jaya Agro Palm dan Charindo Palma juga dicabut. Meski demikian menurut data terakhir BEI, GOLL masih mendapatkan notasi ‘B’ pada kode sahamnya.

Sementara itu Global Mediacom digugat oleh perusahaan Korea Selatan, KT Corporation pada Selasa, 28 Juli 2020. Namun perusahaan melawan gugatan tersebut dan melaporkan KT Corporation ke kepolisian karena telah mencemarkan nama baik perusahaan.

"Perseroan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak-haknya, termasuk menempuh pelaporan secara pidana kepada pihak kepolisian," kata Direktur, Chief Legal Counsel Global Mediacom Christophorus Taufik, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Minggu (2/8).

Menurutnya, permohonan tersebut tidak valid karena perjanjian yang dijadikan dasar dari permohonan telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Jakarta Selatan No. 97/Pdt.G/2017/PN.Jak.Sel tanggal 4 Mei 2017. Putusan tersebut pun telah berkekuatan hukum tetap.

Reporter: Muchammad Egi Fadliansyah