Bisnis Penerbangan Terpuruk, Garuda Putus Kontrak 700 Karyawan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pesawat Garuda Indonesia
Penulis: Ihya Ulum Aldin
27/10/2020, 16.54 WIB

"Fokus utama kami adalah mengupayakan perbaikan fundamental perseroan secara terukur dan berkelanjutan," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dalam siaran pers, Agustus lalu.

Selain menjalankan strategi pemulihan dari segmen bisnis, perseroan juga membenahi pengelolaan biaya. Beberapa aspek yang dimaksud antara lain negosiasi biaya sewa pesawat, restrukturisasi utang, hingga efisiensi di seluruh lini operasional.

Sepanjang paruh pertama tahun ini perseroan membukukan rugi bersih US$ 712,72 juta atau setara dengan Rp 10,47 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dolar AS). Padahal di periode yang sama tahun lalu perseroan berhasil membukukan laba US$ 24,11 juta.

Catatan rugi ini disebabkan karena pendapatan perseroan turun 58,18% menjadi hanya US$ 917,28 juta sepanjang semester I 2020. Pada semester I 2019 perseroan mampu meraup pendapatan sebesar US$ 2,19 miliar.

Penerbangan berjadwal Garuda Indonesia yang merupakan kontributor terbesar hanya membukukan pendapatan sebesar US$ 750,25 juta selama paruh pertama tahun ini. Jumlah ini turun 59,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar US$ 1,85 miliar.

Dari pendapatan lainnya perseroan hanya mampu membukukan US$ 145,47 juta sepanjang semester I 2020, turun 56,45% dibandingkan semester I 2019 yang tercatat sebesar US$ 334,06 juta.

Meski demikian, Garuda Indonesia masih mampu mencatatkan peningkatan pada pendapatan dari penerbangan tak berjadwal. Per 30 Juni 2020 pendapatan dari lini bisnis kargo mencapai USUS$ 21,54 juta, melonjak 392,5% dibandingkan posisi per 30 Juni 2019.

Halaman: