Perusahaan rokok dalam negeri mengalami tekanan di tengah pandemi Covid-19 dan kenaikan tarif cukai tahun ini, meski ada yang mendulang keuntungan. Di antara beberapa emiten rokok yang ada di pasar saham, siapa untung dan siapa buntung?
Katadata.co.id membandingkan kinerja keuangan periode sembilan bulan yang berakhir September 2020 dari empat emiten rokok. Pertimbangannya, empat emiten rokok ini memiliki kapitalisasi pasar paling besar. Kapitalisasi pasar perusahaan rokok terbesar adalah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) yang mencapai Rp 179,71 triliun hingga perdagangan sesi pertama di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (19/11).
Kemudian PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencapai Rp 86,1 triliun pada saat yang sama. Nilai kapitalisasi pasar PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) tercatat mencapai Rp 13,98 triliun. Sedangkan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) senilai Rp 1,19 triliun.
Di antara keempat perusahaan tersebut, Gudang Garam mengantongi pendapatan yang paling besar pada triwulan III 2020 dengan nilai Rp 83,37 triliun, tumbuh 2,02% dari periode yang sama tahun lalu. Raihan tersebut, lebih tinggi dibandingkan pesaing terdekatnya yaitu HM Sampoerna yang hanya Rp 67,77 triliun, turun 12,55% secara tahunan.
Penjualan Bentoel mengalami penurunan hingga 28,07% menjadi Rp 10,41 triliun. Sementara, penjualan Wismilak menjadi anomali karena tercatat meroket hingga 38,03% menjadi Rp 1,39 triliun.
Data penjualan rokok masing-masing perusahaan memang berbeda, ada yang mengalami kenaikan, namun ada yang turun. Meski begitu, penjualan pada segmen rokok sigaret kretek tangan (SKT) oleh tiga perusahaan di atas, kompak mengalami peningkatan.
HM Sampoerna yang secara total penjualannya mengalami penurunan, namun, segmen rokok sigaret kretek tangan penjualannya mengalami peningkatan hingga 9,76% menjadi Rp 15,36 triliun. Produk dari segmen SKT yang dipasarkan oleh perusahaan yaitu Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau.
Penjualan rokok segmen SKT Gudang Garam juga naik hingga 10,04% menjadi Rp 6,37 triliun. Beberapa merek yang masuk dalam kategori SKT milik Gudang Garam di antaranya seri Gudang Garam Merah, Sriwedari, Djaja, dan Patra.
Wismilak, mampu mengantongi penjualan pada segmen SKT mencapai Rp 334,49 miliar pada triwulan III 2020, naik 18,64% secara tahunan. Beberapa merek pada produk segmen SKT milik Wismilak seperti Galan Kretek, Wismilak Spesial, Wismilak Slim, dan Wismilak Satya.
Dari keempat emiten rokok, hanya Wismilak yang berhasil mencatatkan kenaikan laba. HM Sampoerna yang penjualannya mengalami penurunan juga hanya mengantongi laba bersih senilai Rp 6,91 triliun pada sembilan bulan tahun ini. Catatan tersebut, mengalami penurunan hingga 32,25%.
Laba bersih Gudang Garam juga turun 22,04% menjadi Rp 5,64 triliun. Bahkan, Bentoel mencatatkan rugi bersih Rp 563,86 miliar pada triwulan III 2020, berbanding terbalik dari periode sama tahun lalu yang membukukan laba bersih Rp 11,25 miliar.
Penurunan laba bersih Gudang Garam, salah satunya disebabkan oleh biaya pokok penjualan yang mengalami kenaikan 6,68% secara tahunan menjadi Rp 70,39 triliun. Manajemen Gudang Garam pernah menyampaikan, profitabilitas Gudang Garam tahun ini bakal tergerus seiring dengan kenaikan cukai yang diterapkan pemerintah.
Salah satu komponen yang membentuk biaya pokok penjualan yaitu biaya pita cukai, PPN, dan pajak rokok. Dalam sembilan bulan tahun ini Gudang Garam menanggung biaya tersebut hingga Rp 58,53 triliun, naik 14,91% secara tahunan.
"Secara garis besar, penurunan laba bersih terjadi karena kenaikan cukai pada 2020 yang belum seluruhnya dapat diteruskan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga rokok," kata manajemen Gudang Garam dalam paparan publik pada 24 Agustus 2020 lalu.
Manajemen menahan kenaikan harga jual rokok yang terlalu tinggi, karena dapat mengurangi kemampuan beli masyarakat. Terlebih, daya beli sebagian masyarakat masih terganggu akibat pandemi Covid-19. Karena itu, Gudang Garam merasa harus terus mengamati kondisi pasar dan menyesuaikan harga jual dengan cermat.
Penurunan daya beli masyarakat akibat Covid-19 juga disampaikan oleh manajemen HM Sampoerna. Ditambah lagi kebijakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mengharuskan masyarakat tetap di dalam rumah. Kebijakan ini telah menyebabkan perubahan prioritas belanja konsumen.
"Sehingga juga berdampak pada penurunan volume industri rokok dan perubahan preferensi rokok konsumen dewasa ke produk-produk yang lebih terjangkau di Indonesia," kata manajemen HM Sampoerna.
Wismilak Mampu Tumbuh
Ternyata, tidak semua perusahaan rokok mengalami tekanan di tengah pandemi Covid-19 dan kenaikan tarif cukai rokok 2020. Nyatanya, Wismilak mampu mencatatkan kinerja yang fantastis, baik dari segi penjualan, hingga ke laba bersih pada triwulan III 2020.
Meski beban pokok penjualan Wismilak yang menggerus profitabilitasnya naik 37,32% secara tahunan menjadi Rp 954,59 miliar, Wismilak mampu membukukan laba bersih senilai Rp 108,68 miliar. Memang nilainya tidak sebesar perusahaan rokok lainnya, pertumbuhaannya 605,62% secara tahunan.
Sekretaris Perusahaan Wismilak Surjanto Yasaputera mengatakan kenaikan tarif cukai tahun ini membawa angin segar untuk perusahaan. Tarif cukai lebih besar untuk perusahaan rokok yang masuk dalam golongan tier 1 seperti Gudang Garam dan HM Sampoerna, yang produksinya di atas 3 miliar batang.
Sedangkan Wismilak, masuk dalam kelompok produsen rokok tier 2 karena dalam setahun memproduksi kurang dari 3 miliar batang rokok. Sebagai perbandingan, pada 2020 cukai per batang rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) tier 1, tarifnya lebih tinggi 57,4% dibandingkan dengan tier 2-A.
"Peraturan cukai mengharuskan perusahaan rokok menaikkan harga yang cukup besar sehingga terjadi trading down. Jadi produk baru yang diluncurkan tahun lalu, yaitu Wismilak Satya dan Diplomat EVO diposisikan pada value for money, segmen tersebut yang cukup memberikan kontribusi pada Wismilak," kata Surjanto.
Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya menilai Wismilak memang bisa mengambil keuntungan dari tarif cukai ini. Apalagi, target produksi rokok pada 2021 di bawah 2 miliar per tahun. "Untuk mendapatkan keuntungan dari cukai, pajak, dan harga jual eceran yang lebih rendah," kata Christine dalam risetnya, 2 oktober 2020.
Menurutnya, rokok masih dianggap sebagai produk pokok oleh masyarakat Indonesia, meski volume penjualannya turun pada tahun ini karena pandemi Covid-19. Beberapa perokok mengalihkan konsumsi rokoknya dengan merek yang lebih murah.
Karena sebagian besar harga produk Wismilak hampir sama dengan harga jual eceran minimum pemerintah, perusahaan dapat menjual beberapa produknya lebih murah daripada produk dalam kategori tier-1. "Hal ini akhirnya menciptakan permintaan tambahan dari pelanggan yang melakukan downgrading," kata Christine.