PT Bank Central Asia Tbk berencana menggelar aksi korporasi pemecahan saham yang beredar atau stock split dengan rasio 1:5. Langkah tersebut memungkinkan investor untuk membeli saham dengan kode emiten BBCA di kisaran Rp 6.000 per saham.

Sebagai komitmen mendorong perkembangan pasar modal Tanah Air, perusahaan memutuskan untuk melakukan aksi korporasi stock split. Tujuannya, memberikan kesempatan kepada investor ritel untuk berinvestasi di saham BCA.

Rapat Direksi & Komisaris BCA pada Kamis (29/7) telah menyetujui aksi korporasi stock split dengan rasio 1 : 5 alias 1 saham lama menjadi 5 saham baru. Nilai nominal per unit saham BBCA saat ini adalah Rp 62,50, sedangkan nilai nominal per unit saham BBCA setelah stock split akan menjadi Rp 12,5. 

Melansir RTI, pada perdagangan akhir pekan (30/7) saham BBCA ditutup koreksi 1,16% ke level Rp 29.850 per saham. Apabila stock split diberlakukan, maka harga saham BBCA menjadi Rp 5.970 per saham. Artinya, investor bisa membeli satu lot saham BBCA hanya dengan Rp 597 ribu saja, dari sebelumnya dikisaran Rp 3 juta per lot.

“Melalui aksi korporasi stock split ini, kami berharap harga saham BBCA akan lebih terjangkau bagi para investor ritel, utamanya bagi investor muda yang saat ini aktif meramaikan bursa," kata Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja dalam keterangan resminya, Jumat (30/7).

Proses stock split akan mengikuti ketentuan yang berlaku dan membutuhkan persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Itu rencananya akan diselenggarakan pada 23 September 2021.

Setelah memperoleh persetujuan dari para pemegang saham, BCA akan berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memproses stock split dan diperkirakan terjadi pada Oktober 2021.

Sementara itu, Bank BCA berhasil membukukan laba bersih Rp 14,5 triliun sepanjang semester I-2021. Keuntungan bank milik Grup Djarum tersebut melonjak 18,1% dibanding periode sama tahun lalu Rp 12,28 triliun.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, kenaikan signifikan laba bersih pada enam bulan pertama tahun ini karena basis perbandingan laba bersih yang lebih rendah pada semester I-2020.

"Dipengaruhi oleh tingginya tingkat biaya kredit (cost of credit) saat awal pandemi Covid-19 pada triwulan II tahun lalu. Biaya cadangan pada semester I-2020 tercatat 32,4% lebih besar dibanding periode sama tahun ini," kata Jahja dalam konferensi pers, Kamis (22/7).

Emiten berkode saham BBCA ini membukukan pertumbuhan positif pada pendapatan bunga bersih sebesar 3,8% dari sekitar Rp 27,26 triliun menjadi Rp 28,3 triliun pada semester I 2021. Di sisi lain, pendapatan non-bunga turun 1,2% dari sekitar Rp 10,32 triliun menjadi Rp10,2 triliun. 

Jahja menjelaskan, penurunan ini sebagai dampak pendapatan yang hadir hanya sekali dari penjualan portofolio reksa dana yang dibukukan tahun lalu. Namun sebagian besar dapat diimbangi oleh kenaikan pendapatan biaya (fee) dan komisi.

Pendapatan fee dan komisi naik 7,5% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan level sebelum pandemi Covid-19 melanda. Hal ini terutama ditopang oleh pulihnya pendapatan fee dari perbankan, seiring dengan peningkatan jumlah nasabah dan volume transaksi.

Secara total, pendapatan operasional tercatat sebesar Rp 38,5 triliun atau naik 2,4% dari tahun lalu yang senilai sekitar Rp 37,6 triliun.

Reporter: Ihya Ulum Aldin