Beban Keuangan Naik, Rugi Garuda Membengkak 26% Jadi Rp 12,8 Triliun

ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.
Pekerja membongkar muat kargo dari pesawat Garuda Indonesia setibanya di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (22/5/2021).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
31/8/2021, 13.49 WIB

Kerugian yang dialami PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terus membengkak, kali ini mencapai 26,09% pada semester I 2021. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rugi bersih maskapai nasional ini mencapai US$ 898,65 juta atau setara Rp 12,82 triliun (Kurs Rp 14.275/ US$) dari sebelumnya US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,17 triliun pada enam bulan pertama tahun lalu.

Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I-2021 ini sejalan dengan total pendapatan usaha yang sebesar US$ 696.8 juta, atau menurun 24,04% dari periode sama tahun lalu US$ 917,28 juta.

Omzet Garuda Indonesia mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang totalnya US$ 556,53 juta atau anjlok 25,82% dari US$ 750,25 juta. Pendapatan dari penerbangan berjadwal ini terdiri dari, penerbangan penumpang dan dari bisnis kargo.

Pada sisi penerbangan penumpang, Garuda Indonesia hanya mencatatkan pendapatan US$ 375,29 juta atau anjlok 40,5% dari US$ 630,77 juta. Meski begitu, Garuda Indonesia bisa mengantongi pendapatan dari bisnis angkutan kargo dan dokumen senilai US$ 181,24 juta, atau meroket hingga 51,69% dari US$ 119,48 juta saja.

Sumber pendapatan lain Garuda Indonesia berasal dari penerbangan tidak berjadwal (charter). Maskapai mampu membukukan pendapatan US$ 41,63 juta dari charter atau mampu tumbuh signifikan hingga 93,25% dari US$ 21,54 juta saja.

Sementara itu, bisnis lainnya yang terdiri dari pemeliharaan dan perbaikan pesawat, pelayanan terkait penerbangan, fasilitas, jasa boga, dan lainnya mengalami penurunan. Total pendapatan lainnya US$ 98,63 juta atau anjlok hingga 32,2% dari US$ 145,47 juta.

Di tengah penurunan pendapatan usaha, Garuda Indonesia mampu melakukan efisiensi pada beban usaha yang totalnya US$ 1,38 juta atau turun 16% dari US$ 1,643 juta. Penyumbang terbesar beban usaha adalah beban operasional penerbangan senilai US$ 769,35 juta, turun 18,64% dari US$ 945,58 juta.

Di luar beban usaha, Garuda Indonesia juga mesti menanggung beban keuangan mencapai US$ 293,52 juta pada semester I-2021. Tampaknya, beban keuangan ini membengkak hingga 44,77% dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$ 202,74 juta.

Meski begitu, Garuda Indonesia mampu membukukan keuntungan dari selisih kurs dengan nilai bersih US$ 50,57 juta pada semester I-2021. Keuntungan ini naik signifikan 149,5% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 20,27 juta.

Garuda Indonesia mencatatkan total aset mencapai US$ 10,14 miliar per Juni 2021 atau turun dari US$ 10,78 miliar per Desember 2020. Aset itu terdiri dari aset lancar US$ 403,57 juta dan aset tidak lancar yang mencapai US$ 9,71 miliar.

Namun, total liabilitas Garuda Indonesia mencapai US$ 12,96 miliar per Juni 2021 atau naik dari US$ 12,73 miliar per Desember 2020. Liabilitas jangka pendek Garuda Indonesia mencapai US$ 5,05 miliar, sedangkan jangka panjang US$ 7,9 miliar.

Karena total aset yang lebih kecil dari liabilitas, Garuda Indonesia mencatatkan ekuitas negatif US$ 2,84 miliar per Juni 2021. Sedangkan per Desember 2020, ekuitas Garuda Indonesia juga sudah negatif US$ 1,94 miliar.

Manajemen Garuda Indonesia mengatakan, pandemi Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan perjalanan, telah menyebabkan penurunan perjalanan udara yang signifikan. "Hal ini memiliki dampak buruk pada operasi dan likuiditas Grup," dikutip dari laporan keuangan perusahaan.

Secara spesifik, Garuda Indonesia belum dapat memenuhi kewajiban keuangannya kepada bank, vendor yang signifikan. Seperti PT Pertamina (Persero) untuk pembelian bahan bakar, PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai operator bandara, dan lessor pesawat.

Ketidakmampuan Garuda Indonesia untuk memenuhi kewajibannya kepada lessor mengakibatkan pelarangan penggunaan (grounding) pesawat sewa tertentu Garuda Indonesia. Perjanjian-perjanjian pinjaman Garuda Indonesia memiliki batasan rasio keuangan yang tidak dapat dipenuhi oleh Garuda Indonesia.

Bila Garuda Indonesia tidak dapat memenuhi persyaratan ini, pinjaman-pinjaman ini dapat jatuh tempo segera jika diminta oleh pemberi pinjaman. Perjanjian pinjaman ini umumnya juga memiliki persyaratan cross-default.

"Kondisi-kondisi di atas menunjukkan adanya ketidakpastian material yang dapat menimbulkan keraguan signifikan tentang kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," kata manajemen Garuda Indonesia.

Mempertimbangkan keadaan tersebut, manajemen Garuda Indonesia telah mempertimbangkan dengan cermat likuiditas masa depan, kinerja Garuda Indonesia, dan sumber pembiayaan yang tersedia dalam menilai apakah Garuda Indonesia akan memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.

Langkah-langkah tertentu telah atau akan diambil untuk mengurangi tekanan likuiditas dan untuk meningkatkan posisi keuangan Garuda Indonesia. Seperti melakukan negosiasi kepada kreditur agar Garuda Indonesia mendapatkan relaksasi pembayaran hutang.

Garuda Indonesia juga melakukan negosiasi dengan lessor untuk mendapatkan skema yang lebih baik bagi operasional Garuda Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada pengurangan pembayaran sewa bulanan dan dana cadangan pemeliharaan, dan merubah ke pengaturan power by the hour.

Melakukan rasionalisasi positif jumlah karyawan sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan. Begitu juga dengan mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang di pemerintah untuk pencairan sisa dana fasilitas Obligasi Wajib Konversi (OWK).

Garuda juga melakukan permohonan kepada instansi yang berwenang di pemerintah agar Garuda Indonesia mendapatkan relaksasi pembayaran kewajiban perpajakannya. Begitu juga memohon dukungan keuangan dan persetujuan dari instansi yang berwenang di pemerintah agar Garuda Indonesia dapat menjalankan restrukturisasi keuangan dan operasinya.

Reporter: Ihya Ulum Aldin