PT Waskita Karya Tbk (WSKT) menilai dampak dari gagal bayar perusahaan properti Tiongkok Evergrande kepada perusahaan layaknya dua sisi mata uang. Di salah satu sisi bisa berdampak negatif, tapi di sisi lainnya juga membawa angin segar bagi perusahaan konstruksi milik pemerintah.
Secara umum, kasus gagal bayar Evergrande menimbulkan persoalan operasional bagi Waskita. Namun, di satu sisi lain, ini juga merupakan peluang terjadinya perpindahan portofolio investasi ke Tanah Air.
Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono mengatakan dampak negatif dari potensi gagal bayar utang US$ 300 miliar atau setara Rp 2.437 triliun kepada perseroan memang belum dirasa langsung. Dampak negatif secara tidak langsung ialah adanya peningkatan harga material.
"Sebagian dari kondisi ini menyebabkan beberapa harga material meningkat cukup signifikan. Sebagai contoh material besi," kata Destiawan dalam paparan publik secara virtual, Jumat (8/10).
Kenaikan harga material bisa terjadi karena bahan dasarnya diimpor dari Negeri Panda ke Tanah Air. Meski dampaknya tidak langsung, tapi peningkatan harga material tersebut mulai terasa efeknya ke Waskita Karya.
"Mudah-mudahan ini bisa teratasi sehingga kondisi bisnis konstruksi di Indonesia bisa berjalan dengan baik," ujar Destiawan.
Direktur Keuangan Waskita Karya Taufik Hendra Kusuma mengatakan efek Evergrande tidak hanya kepada Waskita Karya saja, melainkan kepada seluruh emiten secara umum. Dalam konteks ini, Taufik meyakini efek Evergrande positif karena Waskita Karya berencana menerbitkan saham baru dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue.
Kasus gagal bayar Evergrande bisa membuat aliran dana keluar dari Tiongkok, dan harapannya bisa beralih ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. "Harapannya dana asing yang terinvestasi di sana bisa menjadi sumber perolehan investasi yang akan kami lakukan dalam bentuk rights issue di kuartal ini," kata Taufik.
Waskita karya berencana menerbitkan saham baru dengan menawarkan hak kepada pemegang saham. Rencana itu merupakan konsekuensi dari rencana pemerintah untuk menyuntikan dana penyertaan modal negara (PMN) Rp 7,9 triliun dari total target pendanaan Rp 11,9 triliun.
Taufik mengaku, saat ini memang proses legal untuk PMN ini sedang menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang diyakini sebentar lagi terbit. "Paralel dengan penerbitan PP, kami akan melakukan proses registrasi dalam waktu dekat ke OJK untuk melakukan rights issue," ujar Taufik.
Efek positif Evergrande terhadap rights issue perusahaan di Indonesia pernah disampaikan juga oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo. Saat itu, Tiko, sapaan akrabnya, memberikan contoh keberhasilan rights issue PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang mencapai Rp 96 triliun.
Tiko menyampaikan keberhasilan bank pelat merah ini dalam menerbitkan saham baru juga tak terlepas dari kondisi ekonomi global saat ini.
Menurut dia, potensi gagal bayar utang perusahaan properti asal Tiongkok Evergrande menguntungkan pasar saham Indonesia. "Evergrande sebenarnya ada positifnya buat kita, karena dengan Tiongkok sekarang mengalami permasalahan, justru equity (ekuitas) di Tiongkok ditinggalkan investor," kata Tiko.
Dia mengatakan, investor di Tiongkok kini mencari pasar saham baru di kawasan Asia, salah satunya di Indonesia. "BRI dapat keuntungan karena mereka (investor) ada alokasi portofolio dan kalau ada barang (saham) baru ditubruk karena mereka exit dari Tiongkok," ujarnya.