PT Bumi Resources Tbk berencana menyelesaikan proses restrukturisasi utang senilai US$ 1,79 miliar pada tahun depan agar tak gagal bayar. Untuk itu, perusahaan milik Grup Bakrie ini telah menunjuk Boston Consulting Group untuk membantu negosiasi dengan para kreditur.
Berdasarkan paparan publik, utang keseluruhan saat ini meningkat dari US$1,67 miliar menjadi US$ 1,79 miliar karena kapitalisasi pada bunga
utang seluruh Tranche. Adapun, utang pokok Trache A perusahaan yang sebesar US$ 595,5 juta, kini telah berkurang sebesar US$ 282,4 juta.
"Mungkin pada tahun dan bulan berikutnya kami akan mencoba untuk membayar (kewajiban pokok) seperti yang sudah kami bayarkan ini," kata VP Finance Bumi Resources Nugroho Damardono dalam paparan publik perseroan, Selasa(14/12).
Emiten industri batu bara berkode BUMI ini menargetkan proses restrukturisasi utang tranche B dan C dapat rampung. Nilai utang kedua tranche itu telah naik 37,38% akibat dari kapitalisasi bunga dari US$ 1,07 miliar menjadi US$ 1,47 miliar.
Alhasil, utang BUMI tercatat naik 6,03% dari realisasi akhir 2020 senilai US$ 1,99 miliar menjadi US$ 2,11 miliar. Salah satu pendorong utang perseroan adalah penyelesaian kewajiban bunga majemuk pada tahun ini.
Nugroho mengatakan peningkatan harga batu bara akan mempengaruhi pada jumlah utang yang dibayar perseroan. Harga jual rata-rata di seluruh tambang perseroan kini mencapai US$ 62,8 per ton atau menduduki posisi tertinggi setidaknya sejak 2018.
Di samping itu, harga batu bara perseroan secara free on board (FoB) naik 39% secara konsolidasi. Secara rinci, harga FoB besutan Kaltim Prima Coal (KPC) menjadi US$ 69,6 per ton, sedangkan dari Arutmin menjadi US$ 42,88 per ton.
Kantongi Laba Bersih pada Kuartal III 2021
Nugroho menilai peningkatan harga batu bara mampu membuat perusahaan mengantongi laba bersih pada kuartal III 2021 dari posisi rugi tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi, BUMI mengantongi laba US$ 243,3 juta dari posisi rugi bersih sebesar US$ 94,1 juta.
Pertumbuhan itu didorong naiknya pendapatan sebesar 35% secara tahunan sepanjang Januari-September 2021 menjadi US$ 3,75 miliar dari US$ 2,77 miliar. Selain itu, margin usaha tercatat naik dari posisi 5,7% pada sembilan bulan pertama 2020 menjadi 20%.
Nugroho menilai pertumbuhan pendapatan agak tertahan lantaran biaya produksi naik 11% dari capaian kuartal III 2020 senilai US$ 31,8 per ton menjadi US$ 35,4 per ton. Naiknya biaya produksi dinilai datang dari pertumbuhan harga bahan bakar yang diterima perseroan.
"Dan juga selama pandemi ini memang ada kendala di dalam supply chain, bukan dialami kami saja, tapi seluruh pemain di pasar domestik dan dunia," kata Nugroho.
Nugroho meramalkan harga batu bara pada tahun depan akan terkoreksi ke kisaran US$ 140 - US$ 160 per ton. Namun demikian, harga batu bara dinilai tidak akan jatuh ke bawah level US$ 100 per ton pada 2022.