Emiten BUMN yang bergerak di bisnis EBT, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) akan menerbitkan surat utang baru senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,50 triliun.
Dana hasil penerbitan obligasi tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga geothermal demi mencapai kapasitas terpasang 1 Gigawatt (GW) dalam dua tahun ke depan.
Saat ini, kapasitas terpasang yang dikelola sendiri oleh PGE mencapai 672 Megawatt (MW), sehingga masih ada gap sebesar 340 MW.
"Rata-rata powerplant geothermal membutuhkan investasi US$ 3 juta per megawatt, maka akan membutuhkan belanja modal US$ 1 miliar," kata Direktur Keuangan PGEO, Nelwin Aldriansyah kepada media di Jakarta, Rabu (26/7).
Menurut Nelwin, pada tahap awal, perusahaan akan menggunakan sebagian perolehan dana hasil IPO yang siap digunakan sebesar US$ 450 juta atau setara Rp 6,75 triliun. Perusahaan, meraup dana IPO senilai Rp 9,06 triliun yang sekitar US$ 25 juta telah digunakan untuk belanja modal dan US$ 100 juta untuk membayar utang.
"Untuk modal pembangunan 350 MW akan menggunakan dana IPO, sisanya kekurangan US$ 500 juta akan kita kombinasikan dengan kas internal dan penerbitan utang baru," ucap Nelwin.
Penerbitan obligasi ini diperkirakan akan dilaksanakan pada awal 2024 atau selambatnya akhir tahun 2024 nanti.
Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Utama PGEO, Julfi Hadi, menuturkan perseroan saat ini dalam pipeline terdapat potensi peningkatan kapasitas terpasang sebesar 710 MW.
Perseroan sudah mengidentifikasi adanya potensi penambahan kapasitas sebesar 340 MW untuk mencapai target 1 GW. Penambahan itu antara lain berasal dari pembangkit Hululais, Lumut Balai, Ulubelu dan Lahendong.
"Kami menargetkan dapat mencapai 1 Gigawatt dalam dua tahun ke depan. Distribusi proyek ada di Jawa dan Sumatera untuk mendukung dekarbonisasi," ujar Julfi kepada wartawan di Kawasan ICE BSD, Tangerang Selatan, Kamis (13/7).