Ekonomi di Tengah Pandemi, Apakah Akan Terjadi Lagi Depresi Besar?

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.
Seorang warga duduk di antara pertokoan yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Jumat (3/4/2020). IMF memperingatkan banyaknya aktivitas usaha yang terganggu karena pandemi corona bakal membuat perekonomian dunia jatuh lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an.
Penulis: Sorta Tobing
14/4/2020, 17.37 WIB

Ekonom dan pelaku sejarah menyebut Depresi Besar sebagai kejatuhan ekonomi terbesar dan terpanjang dalam sejarah era industri. Ada pula yang menganggapnya bencana ekonomi terdahsyat pada abad ke-20.

Apa Akibat Depresi Besar 1930-an?

Situs Investopedia menuliskan, kejatuhan pasar saham yang disebut Black Thursday itu menjadi penanda AS masuk ke dalam krisis. Tingkat pengangguran yang awalnya 3,2% langsung terjun bebas menjadi 24,9% pada 1933. Di tahun ini sebanyak 15 juta rakyat AS pengangguran dan hampir setengah jumlah bank di sana mengalami pailit.

Intervensi dari dua pemerintahan Presiden AS kala itu, yaitu Herbert Hoover dan Franklin Delano Roosevelt, tak mampu mengatasi masalah pengangguran. Pada 1938 angkanya masih di 18,9%. Bahkan ketika Jepang mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, angka produk domestik bruto AS masih di bawah level pada 1929.

Yang membuat keadaan sangat buruk adalah ketika itu belum ada jaminan sosial untuk tenaga kerja. Banyaknya PHK membuat sebagian besar penduduk jatuh miskin dan kelaparan terjadi di mana-mana. Beberapa foto yang diterbitkan oleh media pada saat itu menunjukkan bagaimana warga AS harus mengantri panjang untuk mendapatkan jatah makan dari pemerintah.

(Baca: Dampak Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19 terhadap Anggaran)

Pada hari pelantikan Roosevelt, yaitu 4 Maret 1933, Departemen Keuangan AS tidak memiliki cukup uang tunai untuk membayar pekerja pemerintah. Ia merupakan Presiden AS yang paling lama memegang jabatan itu. Di tengah krisis, ia selalu menebar optimisme. Satu kalimatnya yang terkenal sampai sekarang adalah “satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.”

Pemerintahannya kemudian melahirkan jaminan sosial untuk tenaga kerja. Ia juga mereformasi sistem keuangan dengan menciptakan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk melindungi rekening para penabung. Lalu, Badan Otoritas Sekuritas dan Bursa (SEC) juga terbentuk untuk mengatur pasar saham dan mencegah spekulasi.

Masuk ke Perang Dunia II, kondisi berangsur pulih. Perang telah membuat mesin-mesin di pabrik bekerja kembali. Tingkat pengangguran kembali di bawah sebelum Depresi terjadi. Masa suram itu pun berakhir dan AS mengalihkan fokusnya ke konflik global.

Perpanjangan penutupan sebuah mal di Banjarmasi, Kalimantan Selatan, akibat pandemi corona. (ANTARA FOTO/Makna Zaezar/hp.)

Apakah Depresi Besar Bakal Terjadi Lagi?

Pemenang Nobel bidang ekonomi Robert Shiller dalam wawancaranya dengan CNBC mengatakan apa yang terjadi sekarang tak sama dengan Depresi Besar 1930-an. “Ini adalah pandemi, tidak akan bertahan hingga sepuluh tahun. Ini akan berakhir dalam satu atau dua tahun,” katanya.

Yang membuat ekonomi terlihat suram adalah ketakutan itu sendiri. Shiller, yang mempelajari bagaimana emosi manusia mengendalikan keputusan keuangan, menemukan banyaknya obrolan seputar risiko depresi akibat virus corona sangat merugikan perekonomian.

Tapi ia tidak meragukan kondisi sekarang mungkin lebih buruk dari Depresi. Krisis di pasar modal masih jauh dari selesai. “Kekurangan pasokan membuat kita semua gelisah,” ucapnya.

(Baca: Pandemi Corona, IMF Beri Keringanan Cicilan Utang ke 25 Negara Miskin)

Sebuah artikel di Washington Post pada 12 April lalu menyebut prospek ekonomi di tengah pandemi corona sudah pasti suram. Lebih dari 17 juta pekerja di AS telah melamar tunjangan pengangguran dalam empat minggu terakhir.

Prediksi angka pengangguran di AS tahun ini akan mencapai 30%, lebih tinggi dari Depresi Besar. Tapi rekor jumlah pengangguran tidak serta-merta akan membuat depresi. Intervensi agresif pemerintah dapat mencegah hal tersebut terjadi.

Depresi Besar 1930-an, menurut artikel itu, terjadi karena kesalahan kebijakan Presiden Hoover. Ia melakukan proteksionisme terhadap pasar tenaga kerja. Ketika masa sulit, ia melarang penurunan upah tenaga kerja. Harapannya, upah tinggi akan merangsang konsumsi dalam negeri.

Upaya melindungi pasar tenaga kerja itu dibalas dengan kebijakan tarif dari mitra dagangnya. Ekspor dan impor pun terganggu, perdagangan internasional hancur. Tapi kebijakan Presidek Roosevelet juga tak sepenuhnya sempurna. Tingkat pengangguran tak mampu ia turunkan di bawah 10%.

Belajar dari pengalaman ini semua, Depresi Besar dapat terhindari di tengah pandemi corona kalau pemerintah dapat memberikan dukungan yang tepat bagi dunia ekonomi. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermain-main dengan kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah di banyak negara saat ini diuji untuk menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan perekonomiannya.

(Baca: Jokowi Waspadai Dampak Corona terhadap Ekonomi Berlanjut Tahun Depan)

Halaman: